7 Buku ke-4: Dhammapada XXII: NIRAYA VAGGA - Neraka (306-319)


Dhammapada 306
Kisah Sundari, Petapa Wanita Pengembara

Pada saat jumlah orang-orang yang menghormat Sang Buddha meningkat, petapa-petapa bukan Buddhis mendapatkan jumlah pengikut mereka semakin berkurang. Oleh karena itu mereka menjadi sangat iri hati terhadap Sang Buddha. Mereka juga takut bahwa keadaan akan semakin buruk jika mereka tidak melakukan sesuatu untuk merusak nama baik Sang Buddha. Kemudian mereka mengundang Sundari, dan berkata kepadanya, “Sundari, kamu adalah seorang wanita muda yang cantik dan pintar. Kami menginginkan kamu membuat malu Samana Gotama dengan mengatakan kepada banyak orang bahwa kamu telah berhubungan kelamin dengannya. Dengan melakukan hal ini, citra baik-Nya akan rusak, pengikut-Nya akan berkurang sehingga banyak orang yang akan datang kepada kita. Buatlah penampilan yang terbaik dan pandai-pandailah.”

Sundari mengerti apa yang diharapkan darinya. Pada malam hari, dia pergi ke Vihāra Jetavana. Ketika ditanya ke mana hendak pergi, dia menjawab, “Saya pergi mengunjungi Samana Gotama, saya tinggal bersamanya di kamar harum (Gandha Kuti) di Vihāra Jetavana.” Setelah mengatakan hal ini, dia pergi ke tempat petapa-petapa bukan Buddhis.

Pagi-pagi sekali keesokan harinya dia kembali ke rumahnya. Jika orang-orang menanyakan dia dari mana, dia akan menjawab, “Saya baru dari kamar harum (Gandha Kuti), setelah bermalam semalam dengan Samana Gotama.” Wanita itu terus mengatakan hal ini selama dua hari. Pada akhir hari ketiga, petapa-petapa menyuruh beberapa pemabuk untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya di tumpukan sampah dekat Vihāra Jetavana.

Hari berikutnya, para petapa menyebarkan berita mengenai hilangnya petapa wanita pengembara (paribbajika) Sundari. Mereka pergi menghadap raja untuk melaporkan kecurigaan mereka. Raja mengizinkan mereka untuk menyelidiki di tempat yang mereka perkirakan. Ketika menemukan jenazah di dekat Vihāra Jetavana, mereka membawanya ke istana.

Kemudian mereka berkata kepada Raja, “O Raja, pengikut-pengikut Gotama telah membunuh Paribbajika Sundari dan membuang jenazahnya di tumpukan sampah dekat Vihāra Jetavana, untuk menutupi kesalahan guru mereka.”

Raja menjawab, “Dalam kasus ini kalian boleh berkeliling kota dan mengumumkan bukti-bukti tersebut.”

Mereka lalu mengelilingi kota membawa jenazah Sundari dan berteriak, “Lihat! Apa yang telah dilakukan oleh pengikut-pengikut Gotama! Lihat bagaimana mereka mencoba menutupi kesalahan Gotama!” Arak-arakan tersebut kemudian kembali ke istana. Para Bhikkhu yang tinggal di Vihāra Jetavana mengatakan kepada Sang Buddha apa yang telah dilakukan petapa-petapa untuk merusak nama baik dan merusak citra Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha hanya berkata, “Anak-anak-Ku, kalian harus memberitahukan mereka mengenai hal ini”, kemudian Beliau membabarkan syair 306 berikut ini:

Orang yang selalu berbicara tidak benar
dan juga orang yang setelah berbuat kemudian berkata,
“Aku tidak melakukannya”
akan masuk ke neraka.
Dua macam orang
yang mempunyai kelakuan rendah ini,
mempunyai nasib yang sama
dalam dunia selanjutnya.

Sementara itu, raja memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki lebih lanjut pembunuhan Sundari. Dari penyelidikan itu mereka menemukan bahwa Sundari meninggal dunia di tangan para pemabuk. Kemudian para pemabuk dibawa menghadap raja. Ketika ditanya, para pemabuk mengakui bahwa mereka disuruh oleh petapa-petapa untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya di depan Vihāra Jetavana. Raja memanggil petapa-petapa bukan Buddhis dan akhirnya petapa-petapa itu mengakui rencana mereka dalam pembunuhan Sundari.

Raja memerintahkan mereka untuk pergi berkeliling kota, mengakui kesalahan mereka kepada umum. Mereka berkeliling kota dan berkata, “Kami adalah orang-orang yang membunuh Sundari, kami telah bersalah menuduh pengikut Gotama hanya untuk memalukan Gotama. Pengikut-pengikut Gotama tidak salah, kamilah yang bersalah atas kejahatan ini.”

Sebagai kesimpulan dari peristiwa ini, kekuatan, keagungan, dan keberuntungan Sang Buddha sangatlah tinggi.



Dhammapada 307
Kisah Mereka yang Menderita karena Perbuatan Jahat Mereka Sendiri

Suatu saat Yang Ariya Mahāmoggallāna sedang menuruni Bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera. Ia melihat beberapa makhluk setan. Ketika Mereka tiba di vihāra, Mahāmoggallāna Thera berkata kepada Lakkhana Thera di hadapan Sang Buddha, bahwa Ia telah melihat sesosok makhluk setan (peta) yang hanya berupa kerangka tulang, juga telah melihat lima Bhikkhu dengan tubuh terbakar dalam kobaran nyala api.

Mendengar perkataan tentang para Bhikkhu yang terbakar itu, Sang Buddha berkata, “Pada masa hidup Buddha Kassapa, para Bhikkhu tersebut telah melakukan banyak perbuatan jahat. Karena perbuatan jahat itulah maka mereka telah menderita di alam neraka (niraya) dan sekarang mereka sedang mengalami sisa penderitaannya hidup sebagai makhluk setan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 307 berikut:

Bila seseorang menjadi Bhikkhu
dengan mengenakan jubah kuning
tetapi masih berkelakuan buruk
dan tidak terkendali,
maka akibat perbuatan-perbuatan jahatnya sendiri,
ia akan masuk ke alam neraka.

 

 


Dhammapada 308
Kisah Para Bhikkhu yang Tinggal di Tepi Sungai Vaggumuda

Waktu itu, sedang terjadi kelaparan di negeri kaum Vajji. Untuk memungkinkan mereka mendapat makanan yang cukup, para Bhikkhu menampilkan diri seolah-olah mereka telah mencapai kesucian, meskipun sesungguhnya mereka belum mencapainya. Karena masyarakat desa mempercayai dan menghormati mereka, maka masyarakat mempersembahkan banyak makanan kepada para Bhikkhu dan hanya menyisakan sangat sedikit bagi mereka sendiri.

Pada akhir masa vassa, sebagaimana telah menjadi kebiasaan, para Bhikkhu dari semua bagian negeri datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Para Bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda juga datang. Mereka kelihatan sehat dan segar sedangkan para Bhikkhu yang lain terlihat pucat dan lusuh. Sang Buddha berkata kepada semua Bhikkhu menanyakan bagaimana mereka mendapat makanan selama menjalani masa vassa. Kepada para Bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda, Sang Buddha bertanya secara khusus apakah mereka mendapat kesulitan memperoleh makanan sehubungan dengan kelaparan yang melanda masyarakat. Mereka menjawab bahwa mereka tidak mendapat kesulitan sama sekali dalam mendapatkan dana makanan.

Sang Buddha mengetahui bagaimana perilaku para Bhikkhu tersebut untuk mendapat dana makanan yang cukup. Tetapi Beliau ingin memberi pelajaran kepada mereka dalam hal ini, sehingga Beliau bertanya, “Bagaimana kamu mengatur sedemikian baik untuk mendapatkan dana makanan selama masa vassa?”

Para Bhikkhu bercerita bagaimana mereka berdiskusi di antara mereka sendiri dan kemudian memutuskan bahwa mereka seharusnya menyapa satu sama lain dalam cara sedemikian rupa sehingga para penduduk akan berpikir bahwa mereka benar-benar telah mencapai tingkat pengembangan batin jhana dan tingkat kesucian.

Kemudian Sang Buddha bertanya kepada mereka apakah mereka telah benar-benar mencapai jhana dan tingkat kesucian. Ketika mereka menjawab belum, Sang Buddha menegur mereka.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 308 berikut:

Lebih baik menelan bola besi panas
seperti bara api
daripada selalu menerima makanan dari orang lain
dan tetap berkelakuan buruk
serta tak terkendali.

 


Dhammapada 309 dan 310
Kisah Khemaka, Anak Laki-Laki Seorang Kaya

Khemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan perzinaan tanpa penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan raja. Tetapi Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena Khemaka adalah keponakan Anathapindika, maka Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila dan seriusnya akibat yang ditimbulkan. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 309 dan 310 berikut:

Orang yang lengah dan berzina
akan menerima empat ganjaran, yaitu:
pertama, ia akan menerima akibat buruk;
kedua, ia tidak dapat tidur dengan tenang;
ketiga, namanya tercela;
dan keempat, ia akan masuk ke alam neraka.

Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah
pada kehidupannya yang akan datang.
Sungguh singkat kenikmatan yang diperoleh
lelaki dan wanita yang ketakutan,
dan raja pun akan menjatuhkan hukuman berat.
Karena itu, janganlah seseorang berzina
dengan istri orang lain.

Khemaka mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 311, 312, dan 313
Kisah Bhikkhu yang Keras Kepala 

Suatu ketika ada seorang Bhikkhu yang merasa sangat menyesal karena telah memotong rumput tanpa sengaja. Ia mengakui hal tersebut di hadapan Bhikkhu lain. Bhikkhu yang mendapat pengakuan kesalahan tersebut mempunyai sifat sembrono dan keras kepala, ia memandang remeh terhadap kesalahan kecil.

Maka, ia menjawab kepada Bhikkhu pertama, “Memotong rumput adalah pelanggaran yang sangat kecil. Jika kamu menyatakan dan mengakui kesalahan kepada Bhikkhu lain, secara otomatis kamu bebas dari kesalahan. Tak ada yang perlu dirisaukan.” Setelah mengatakan hal itu, ia sendiri mencabut segenggam rumput dengan kedua tangannya untuk menunjukkan bahwa ia hanya menganggap ringan terhadap pelanggaran yang tak berarti ini. Ketika Sang Buddha diberi tahu tentang hal ini, Beliau menegur Bhikkhu yang sembrono dan keras kepala itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 311, 312, dan 313 berikut ini:

Bagaikan rumput kusa, bila dipegang secara salah
akan melukai tangan;
begitu juga kehidupan seorang petapa,
apabila dijalankan secara salah
akan menyeret orang ke neraka.

Bila suatu pekerjaan dikerjakan dengan seenaknya,
suatu tekad tidak dijalankan dengan selayaknya,
kehidupan suci tidak dijalankan dengan sepenuh hati;
maka semuanya ini
tidak akan membuahkan hasil yang besar.

Hendaklah orang mengerjakan sesuatu
dengan sepenuh hati.
Suatu kehidupan suci
yang dijalankan dengan seenaknya
akan membangkitkan debu nafsu
yang lebih besar.

Pada akhir khotbah Dhamma, Bhikkhu yang sembrono dan keras kepala itu menyadari pentingnya pengendalian diri dalam kehidupan seorang Bhikkhu, dan mematuhi secara ketat ‘Peraturan Pokok’ (Patimokkha) bagi para Bhikkhu. Beberapa waktu kemudian, melalui praktik meditasi ‘Pandangan terang’, Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Arahat.

 

 

Dhammapada 314
Kisah Seorang Wanita Berwatak Iri Hati

Seorang wanita dengan perasaan iri hati yang kuat tinggal bersama suaminya di Sāvatthī. Ia mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dengan pelayan wanitanya. Pada suatu hari, ia mengikat wanita pelayan tersebut dengan tali yang kuat, memotong telinga dan hidungnya, dan mengurungnya di suatu kamar. Setelah melakukan hal tersebut, ia meminta suaminya untuk menemaninya pergi ke Vihāra Jetavana. Tidak lama setelah mereka pergi beberapa kerabat pelayan tersebut datang ke rumah mereka, menemukan pelayan tersebut terikat dan terkunci di suatu kamar. Mereka mendobrak kamar tersebut, melepaskannya dan membawanya ke vihāra. Mereka tiba di vihāra ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Wanita pelayan tersebut menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah dilakukan oleh majikan wanitanya, bagaimana ia telah dipukuli dan bagaimana hidung dan telinganya dipotong. Ia berdiri di tengah kerumunan orang agar semua orang dapat melihat bagaimana ia telah diperlakukan dengan buruk.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Janganlah berbuat jahat dengan berpikir bahwa orang-orang tidak akan mengetahuinya. Suatu perbuatan buruk yang dilakukan secara rahasia, bila ditemukan, akan membawa penderitaan dan kesedihan; tetapi perbuatan baik dapat dilakukan secara rahasia, karena hal itu hanya akan membawa kebahagiaan dan bukan penderitaan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 314 berikut:

Sebaiknya seseorang tidak melakukan perbuatan jahat,
karena di kemudian hari
perbuatan itu akan menyiksa dirinya sendiri.
Lebih baik seseorang melakukan perbuatan baik,
karena setelah melakukannya
ia tidak akan menyesal.

Pasangan suami istri itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, setelah khotbah Dhamma berakhir.

 


Dhammapada 315
Kisah Banyak Bhikkhu

Dalam bulan pertama mereka berdiam di pinggir kota, para Bhikkhu diperlakukan dengan baik oleh penduduk kota tersebut. Bulan berikutnya, kota itu dijarah oleh beberapa perampok, bahkan beberapa penduduk diculik sebagai sandera. Karena itu penduduk kota harus memperbaiki kota mereka dan memperkuat pertahanan, sehingga penduduk tidak lagi memperhatikan kebutuhan para Bhikkhu, dan para Bhikkhu harus menjaga diri mereka sendiri.

Pada akhir masa vassa, para Bhikkhu tersebut datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihāra Jetavana, Sāvatthī. Ketika mengetahui kesulitan yang mereka lewati selama masa vassa, Sang Buddha berkata, “Para Bhikkhu, jangan terus berpikir tentang ini atau hal lainnya. Memang sulit untuk mempunyai suatu kehidupan yang tanpa masalah sama sekali. Seperti halnya penduduk kota tersebut menjaga kota mereka, demikian pula seorang Bhikkhu seharusnya waspada dan menjaga pikirannya tetap pada tubuhnya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 315 berikut:

Bagaikan perbatasan negara
yang dijaga kuat di bagian dalam dan luar,
begitu pula seharusnya engkau menjaga dirimu;
janganlah membiarkan kesempatan baik
(dalam era ajaran Sang Buddha) ini berlalu.
Karena mereka yang melepaskan kesempatan ini
akan bersedih hati
bila nanti berada di alam neraka.

Para Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma berakhir.



Dhammapada 316 dan 317
Kisah Para Petapa Nigantha

Suatu hari, beberapa petapa Nigantha pergi untuk mengumpulkan dana makanan dengan mangkuk mereka yang ditutupi dengan sepotong kain. Beberapa Bhikkhu melihat mereka dan komentar, “Para petapa Nigantha ini, yang menutupi tubuh bagian depan lebih terhormat dibandingkan dengan para petapa Acelaka yang pergi tanpa mengenakan kain penutup apa pun.” Mendengar komentar ini, para petapa tersebut menjawab dengan tegas, “Ya, sesungguhnya kami benar-benar menutupi bagian depan kami (dengan menutupi mangkuk kami); tetapi kami menutupinya bukan karena malu pergi bertelanjang. Kami hanya menutupi mangkuk kami untuk mencegah debu pada makanan kami, karena meskipun hanya debu, tetap mengandung kehidupan di dalamnya. ”

Ketika para Bhikkhu tersebut menceritakan apa yang dikatakan para petapa Nigantha kepada Sang Buddha, Beliau menjawab, “Para Bhikkhu, para petapa tersebut yang pergi dengan menutupi hanya bagian depan tubuh mereka tidak malu dengan apa yang seharusnya memalukan, tetapi malu dengan apa yang seharusnya tidak memalukan; karena pandangan salah mereka, maka mereka hanya akan menuju ke tujuan yang buruk.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 316 dan 317 berikut ini:

Mereka yang merasa malu
terhadap apa yang sebenarnya tidak memalukan,
dan sebaliknya tidak merasa malu
terhadap apa yang sebenarnya memalukan;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke alam sengsara.

Mereka yang merasa takut
terhadap apa yang sebenarnya tidak menakutkan,
dan sebaliknya tidak merasa takut
terhadap apa yang sebenarnya menakutkan;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke alam sengsara.

Pada akhir khotbah Dhamma ini, banyak petapa Nigantha menjadi ketakutan dan bergabung dalam persamuhan Bhikkhu (Saṅgha). 



Dhammapada 318 dan 319
Kisah Murid-Murid Para Petapa bukan Pengikut Buddha

Murid-murid dari petapa-petapa Titthi tidak ingin anak-anak mereka bermain dengan anak-anak pengikut Sang Buddha. Mereka sering berkata kepada anak-anaknya, “Jangan pergi ke Vihāra Jetavana, jangan memberi hormat kepada para Bhikkhu dari suku Sakya!”

Suatu ketika, anak-anak laki Titthi tersebut sedang bermain dengan seorang anak laki-laki Buddhis di dekat pintu masuk Vihāra Jetavana, mereka merasa sangat haus. Karena anak-anak dari murid-murid petapa Titthi telah diberitahu oleh orangtua mereka untuk tidak memasuki vihāra Sang Buddha, mereka meminta anak laki-laki Buddhis itu untuk pergi ke vihāra dan membawakan air untuk mereka. Anak laki-laki Buddhis tersebut pergi masuk ke vihāra, memberi hormat kepada Sang Buddha. Setelah minum, ia menceritakan kepada Sang Buddha tentang teman-temannya yang dilarang oleh orangtua mereka untuk memasuki vihāra Buddha

Sang Buddha berkata kepada anak laki-laki tersebut agar disampaikan kepada teman-temannya yang bukan Buddhis untuk datang dan minum di vihāra. Ketika anak-anak laki tersebut datang, Sang Buddha memberi khotbah kepada mereka untuk menyesuaikan wataknya yang beraneka ragam. Sebagai hasilnya, anak-anak tersebut menjadi yakin terhadap Tiga Permata (Tiratana), yaitu Buddha, Dhamma, dan Sagha.

Ketika anak-anak tersebut kembali ke rumah, mereka menceritakan kunjungan mereka ke Vihāra Jetavana dan tentang Sang Buddha yang telah mengajarkan Tiga Permata kepada mereka.

Karena kebodohannya, para orangtua anak-anak tersebut berteriak, “Anak-anak laki kita telah tidak setia terhadap kepercayaan kita, mereka telah dihancurkan,” dan seterusnya. Beberapa tetangga yang pandai menasihati para orangtua yang sedang meratap itu untuk berhenti menangis, dan sebaiknya mengirimkan anak-anak mereka kepada Sang Buddha. Mereka menyetujuinya, dan anak-anak tersebut beserta orang tuanya pergi menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha mengetahui mengapa mereka datang. Beliau berkata kepada mereka dalam syair 318 dan 319 berikut ini:

Mereka yang menganggap tercela
terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela,
dan menganggap tidak tercela
terhadap apa yang sebenarnya tercela;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke alam sengsara.

Mereka yang mengetahui
apa yang tercela sebagai tercela,
dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela;
maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu
akan masuk ke alam bahagia.

Pada akhir khotbah Dhamma ini, semua orang yang hadir menjadi yakin terhadap Tiga Permata (Tiratana), dan setelah mendengarkan khotbah selanjutnya dari Sang Buddha, mereka mencapai tingkat kesucian Sotāpatti. 

abcs