1 Buku ke-4: Dhammapada XVI. PIYA VAGGA - Kecintaan (209-220)

Yang warna merah adalah koleksi yang sudah dilakukan saat pemeriksaan ilustrasi Dhammapada.


Dhammapada 209, 210, dan 211 
Kisah Tiga Petapa 

Suatu ketika terjadi di Sāvatthī, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang Bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi Bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang Bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lain dan jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihāra seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat Bhikkhu-Bhikkhu lain merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha, lalu Sang Buddha memanggil mereka. 

Sang Buddha berkata, “Sekali kamu telah bergabung dalam persamuhan Saṅgha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang kaucinta dan melihat mereka yang tidak kaucinta, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut:

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut:

Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan;
melepaskan apa yang baik dan melekat pada apa yang tidak baik,
akan merasa iri terhadap mereka yang tekun dalam latihan.

Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai
dan bertemu dengan mereka yang tidak disukai,
keduanya merupakan penderitaan.

Oleh sebab itu janganlah melekat pada apa pun,
karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan.
Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas
dari mencintai dan tidak mencintai.



Dhammapada 212
Kisah Seorang Perumah Tangga Kaya

Suatu saat, seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas kematian putranya. Dia sering ke makam dan menangis di sana. Suatu pagi, Sang Buddha melihat perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan-Nya. Lalu Sang Buddha bersama seorang Bhikkhu pergi ke rumah perumah tangga kaya tersebut.

Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut mengapa dia merasa sangat tidak bahagia. Lelaki tersebut menjelaskan tentang kematian putranya, dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya. Kepadanya, Sang Buddha berkata, “Murid-Ku, kematian tidak hanya terjadi di satu tempat. Semua makhluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari, sesungguhnya kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian. Janganlah kau anggap hanya putra tersayangmu saja yang mengalami kematian. Jangan terlalu sedih ataupun terlalu goncang. Dukacita dan ketakutan timbul dari rasa sayang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 212 berikut:

Dari yang disayangi timbul kesedihan,
dari yang disayangi timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


Perumah tangga kaya mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Dhammapada 213
Kisah Visakha

Suatu hari, seorang cucu Visakha yang bernama Sudatta meninggal dunia, Visakha merasa sangat kehilangan dan bersedih atas kematian cucunya. Maka dia pergi menghadap Sang Buddha.

Ketika Sang Buddha melihatnya, Beliau berkata, “Visakha, tidakkah kamu menyadari bahwa banyak orang meninggal dunia di Sāvatthī setiap hari? Jika kamu memperhatikan mereka semua seperti kamu memperhatikan cucumu, kamu pasti akan menangis dan berkabung tidak henti-hentinya. Jangan biarkan kematian seorang anak memengaruhi kamu secara berlebihan. Kesedihan dan ketakutan timbul dari kecintaan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 213 berikut:

Dari cinta timbul kesedihan,
dari cinta timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari rasa cinta,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.



Dhammapada 214
Kisah Pangeran-Pangeran Licchavi

Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki Kota Vesali ditemani oleh serombongan Bhikkhu. Di perjalanan, mereka bertemu beberapa pangeran Licchavi yang mengenakan pakaian bagus. Sang Buddha melihat mereka penuh dengan tanda-tanda kebesaran, berkata kepada para Bhikkhu, “Para Bhikkhu, siapa saja yang tidak pernah ke alam Dewa Tavatimsa seharusnya melihat pangeran-pangeran Licchavi ini.”

Pangeran-pangeran itu menuju ke taman yang indah. Di sana mereka bertengkar perihal seorang pelacur dan pertengkaran itu menjadi perkelahian. Sebagai hasilnya beberapa dari mereka berdarah dan dibawa pulang. Ketika Sang Buddha bersama para Bhikkhu berjalan pulang setelah bersantap di kota, mereka melihat pangeran yang luka-luka dibawa pulang ke rumahnya.

Berkaitan dengan kejadian tersebut para Bhikkhu berkata, “Demi seorang wanita, pangeran-pangeran Licchavi ini bertengkar.” Kepada mereka, Sang Buddha menjelaskan, “Para Bhikkhu, penderitaan dan ketakutan timbul dari kesenangan duniawi dan kemelekatan terhadapnya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 214 berikut:

Dari kemelekatan timbul kesedihan,
dari kemelekatan timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


  

Dhammapada 215
Kisah Anitthigandha Kumara

Anitthigandha tinggal di Sāvatthī. Dia akan menikah dengan seorang wanita muda cantik dari Kota Sagala, negara Maddas. Pengantin wanita datang dari kotanya ke Sāvatthī, dia jatuh sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan. Ketika pengantin pria mendengar kabar tentang kematian pengantin wanitanya, dia menjadi putus asa.

Dalam keadaan ini, Sang Buddha mengetahui bahwa waktunya sudah matang bagi pemuda itu untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpatti. Sang Buddha menuju ke rumah pemuda tersebut. Orangtua pemuda itu memberi dana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta orangtua pemuda itu untuk membawa anaknya menghadap Beliau.

Ketika pemuda itu tiba, Sang Buddha bertanya mengapa dia sedih dan putus asa. Pemuda itu menjelaskan seluruh kejadian tragis kematian pengantin wanitanya. Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “O Anittthigandha! Dari nafsu timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi, kesedihan serta ketakutan muncul.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 215 berikut:

Dari nafsu timbul kesedihan,
dari nafsu timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari nafsu,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


Anitthigandha mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 216
Kisah Seorang Brahmana

Ada seorang brahmana tinggal di Sāvatthī, dan dia bukan seorang Buddhis. Tetapi Sang Buddha mengetahui bahwa brahmana akan mencapai tingkat kesucian Sotāpatti dalam waktu dekat. Maka Sang Buddha pergi ke tempat brahmana membajak ladangnya dan mengajaknya berbicara. Brahmana menjadi sahabat dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah berkenalan dengannya dan memperhatikan pekerjaannya di ladang.

Suatu hari dia berkata kepada Sang Buddha, “Samana Gotama, bila nanti saya menuai padi dari ladang ini, pertama sekali saya akan memberikan sebagian hasil panen ini kepada-Mu sebelum saya mengambilnya. Saya tidak akan memakan beras saya sebelum saya memberikan kepada-Mu.” Sang Buddha mengetahui bahwa brahmana itu tidak mempunyai kesempatan untuk memanen padi dari ladangnya tahun ini, tetapi Beliau berdiam diri.

Kemudian pada malam sebelum si brahmana memanen padinya, turun hujan lebat menyapu semua tanaman padinya. Sang brahmana sangat sedih karena dia tidak mungkin memberikan sebagian hasil panen kepada temannya, Samana Gotama.

Sang Buddha pergi ke rumah brahmana dan sang brahmana memberitahukan tentang bencana besar yang menimpanya. Sang Buddha menjawab, “Brahmana, kamu tidak mengetahui sebab penderitaan, tetapi Saya mengetahui. Jika kesedihan dan ketakutan muncul, hal-hal itu disebabkan oleh keinginan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 216 berikut:

Dari keserakahan timbul kesedihan,
dari 
keserakahan timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari 
keserakahan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


Brahmana mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 217
Kisah Lima Ratus Anak Laki-Laki

Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki Kota Rājagaha untuk ber-pindapatta dengan ditemani oleh sejumlah Bhikkhu. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan lima ratus anak laki-laki yang sedang berjalan menuju ke suatu taman yang indah. Anak-anak itu membawa beberapa keranjang kue pancake tetapi mereka tidak memberikan satu pun kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu. Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu, “Para Bhikkhu, kamu akan memakan pancake itu hari ini, pemiliknya akan datang mendekati Kita. Kita akan mendapatkannya hanya setelah ada yang mengambil beberapa pancake.” Setelah mengatakan hal itu, Sang Buddha dan para Bhikkhu berteduh di bawah pohon.

Pada waktu itu Kassapa Thera datang ke sana sendirian. Anak-anak itu melihatnya dan kemudian menghormati Kassapa Thera, serta mendanakan pancake mereka kepada sang thera.

Kassapa Thera kemudian berkata kepada anak-anak itu, “Guru-Ku Yang Mulia beristirahat di sana, di bawah pohon ditemani oleh beberapa Bhikkhu. Pergi dan danakan pancake kalian kepada-Nya dan beberapa Bhikkhu.”

Anak-anak itu melakukan apa yang dikatakan Kassapa Thera. Sang Buddha menerima dana pancake itu. Kemudian, para Bhikkhu berkata bahwa anak-anak itu sangat menyukai Kassapa Thera.

Sang Buddha berkata kepada mereka, “Para Bhikkhu, semua Bhikkhu yang seperti anak-Ku Kassapa disukai oleh para dewa dan manusia. Beberapa Bhikkhu selalu menerima cukup pemberian empat kebutuhan Bhikkhu.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 217 berikut:

Barang siapa sempurna dalam sīla
dan mempunyai pandangan terang,
teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar
dan memenuhi segala kewajibannya,
maka semua orang akan mencintainya.


Lima ratus anak laki-laki mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 218
Kisah Seorang Thera Anagami

Suatu saat murid-murid dari seorang thera bertanya kepadanya, apakah dia telah mencapai tingkat ‘Jalan Kesucian’ (magga), tetapi sang thera tidak berkata apa-apa meskipun dia telah mencapai ‘Jalan Kesucian Anagami’ (Anagami Magga), magga ketiga. Dia berdiam diri karena dia memutuskan untuk tidak membicarakan tentang pencapaiannya hingga dia mencapai tingkat kesucian Arahat. Tetapi sang thera meninggal dunia sebelum mencapai tingkat kesucian Arahat, dan juga tidak berkata sesuatu pun tentang pencapaian Anagami Magga-nya.

Murid-muridnya berpikir guru mereka meninggal dunia tanpa mencapai tingkat magga dan mereka merasa menyesalinya. Mereka pergi menghadap Sang Buddha dan bertanya di mana guru mereka dilahirkan kembali. Sang Buddha menjawab, “Para Bhikkhu! Gurumu telah mencapai Anagami Magga sebelum meninggal dunia, sekarang dia lahir kembali di alam brahma (Suddhavassa Brahmaloka). Dia tidak menyatakan pencapaian Anagami Magga-nya karena merasa malu bahwa dia hanya mencapai itu, dan dia berusaha keras mencapai tingkat kesucian Arahat. Gurumu sekarang telah bebas dari kemelekatan kesenangan duniawi (kamaloka) dan pasti akan meningkat pada keadaan yang lebih tinggi.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 218 berikut:

Barang siapa bermaksud ingin mencapai
‘Yang Tak Terkondisi’ (Nibbāna),
yang batinnya tidak lagi terikat oleh kesenangan indra,
orang seperti itu disebut “yang telah pergi melawan arus kehidupan.”

Para Bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

 

Dhammapada 219 dan 220
Kisah Nandiya

Nandiya adalah orang kaya berasal dari Baranasi. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha tentang manfaat membangun vihāra-vihāra untuk para Bhikkhu, Nandiya membangun Vihāra Mahāvihāra di Isipatana. Bangunan tersebut tinggi dan penuh perabotan. Segera setelah vihāra tersebut dipersembahkan kepada Sang Buddha, sebuah rumah besar muncul untuk Nandiya di alam Surga Tavatimsa. Suatu hari, ketika Mahāmoggallāna Thera mengunjungi alam Surga Tavatimsa, dia melihat sebuah rumah besar diperuntukkan bagi pendana Vihāra Mahāvihāra di Isipatana. Setelah kembali dari alam Surga Tavatimsa, Mahāmoggallāna Thera bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante! Untuk mereka yang melakukan perbuatan baik, apakah mereka akan mempunyai rumah besar dan kekayaan lain tersedia di alam surga, meskipun mereka masih hidup di dunia ini ?”

Sang Buddha berkata, “Anak-Ku, mengapa bertanya hal itu? Apakah Kamu tidak melihat rumah besar dan kekayaan menunggu untuk Nandiya di alam Surga Tavatimsa? Para dewa menunggu kedatangan dari orang yang berbuat baik dan dermawan, seperti sebuah keluarga menunggu kembalinya seseorang yang telah lama bepergian. Ketika orang baik meninggal dunia, mereka disambut dengan gembira untuk tinggal di alam surga.”


Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 219 dan 220 berikut:

Setelah lama seseorang pergi jauh
dan kemudian pulang ke rumah dengan selamat,
maka keluarga, kerabat, dan sahabat
akan menyambutnya dengan senang hati.

Begitu juga, perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan
akan menyambut pelakunya yang telah pergi dari dunia ini
ke dunia selanjutnya,
seperti keluarga yang menyambut pulangnya orang tercinta.


2 Buku ke-4: Dhammapada XVII KODHA VAGGA - Kemarahan (221-234)

Yang warna merah adalah koleksi yang sudah dilakukan saat pemeriksaan ilustrasi Dhammapada.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Dhammapada 221
Kisah Putri Rohini

Pada suatu saat Anuruddha Thera mengunjungi Kapilavatthu. Saat Anuruddha berdiam di vihāra, semua anggota keluarganya, kecuali Rohini datang berkunjung. Saat mengetahui bahwa ketidakhadiran Rohini disebabkan ia menderita kusta, Anuruddha Thera menyuruh salah satu anggota keluarganya untuk memanggilnya. Dengan menutupi kepalanya karena malu, Rohini pun datang. Anuruddha Thera menyarankan agar ia melakukan perbuatan baik. Beliau menganjurkan agar Rohini menjual beberapa pakaian dan perhiasannya, uang hasil penjualan tersebut dapat dipergunakan untuk membangun sebuah kuti bagi para Bhikkhu. Rohini setuju dengan apa yang dinasihatkan kepadanya. Anuruddha Thera juga meminta anggota keluarganya yang lain untuk membantu pembangunan tersebut. Selanjutnya Anuruddha Thera meminta Rohini untuk menyapu lantai dan mengisi tempat air setiap hari, meskipun pembangunan kuti sedang berlangsung. Rohini melakukan semua yang dianjurkan dan kesehatannya pun semakin membaik.

Saat bangunan kuti itu selesai dibangun, Sang Buddha dan para Bhikkhu diundang untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha bertanya siapa yang berdana kuti dan makanan tersebut. Namun saat itu Rohini tidak hadir, maka Sang Buddha meminta agar Rohini dipanggil dan ia pun datang.

Sang Buddha bertanya apakah Rohini tahu mengapa ia menderita penyakit yang mengerikan itu. Rohini menjawab bahwa ia tidak mengetahuinya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan bahwa Rohini menderita penyakit kusta karena perbuatan jahat yang pernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau, perbuatan yang diliputi rasa dengki dan marah.

Sang Buddha bercerita, bahwa dulu Rohini adalah permaisuri Raja Banarasi. Raja Banarasi memiliki seorang penari yang ia kagumi dan hal ini membuat permaisuri cemburu. Karenanya, permaisuri bermaksud menghukum penari itu. Suatu hari permaisuri menyuruh para pelayannya untuk menaburkan serbuk gatal yang terbuat dari kotoran sapi pada tempat tidur dan selimut milik penari itu. Kemudian mereka memanggil penari tersebut dan dengan tiba-tiba mereka menebarkan bubuk gatal itu ke tubuhnya. Rasa gatal menyerang seketika dan penari itu menjadi sangat menderita. Saat rasa gatal itu semakin tak tertahankan, ia berlari ke kamar dan menjatuhkan diri jatuh di ranjang. Ia pun semakin menderita.

Akibat dari perbuatan jahat itu, Rohini menderita kusta pada kehidupannya sekarang. Sang Buddha menasihati semua orang yang hadir agar menghindari perbuatan bodoh karena marah, dan menghindari perbuatan mencelakakan orang lain.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 221 berikut:

Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan kesombongan,
hendaklah ia mengatasi semua belenggu.
Orang yang tidak lagi terikat pada batin dan jasmani,
yang telah bebas dari nafsu-nafsu,
tak akan menderita lagi.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, banyak orang yang hadir mencapai tingkat kesucian Sotāpatti. Demikian pula dengan Putri Rohini, ia juga mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, dan seketika itu pula penyakit kulit yang mengerikan itu lenyap dan kulitnya berubah menjadi bersih, halus, dan menarik.

 

Dhammapada 222
Kisah Seorang Bhikkhu

Suatu ketika, seorang Bhikkhu dari Alavi hendak membangun sebuah vihāra untuk dirinya sendiri, dan ia pun mulai menebang sebatang pohon. Dewa yang mendiami pohon tersebut (Rukkha Deva), mencoba untuk mencegahnya dengan alasan bahwa ia dan bayinya tak tahu ke mana lagi harus tinggal. Gagal menghentikan perbuatan sang Bhikkhu, kemudian dewa itu meletakkan anaknya pada sebuah dahan, berharap itu akan membuat sang Bhikkhu berhenti menebang. Namun, Bhikkhu tersebut telanjur mengayunkan kapaknya, ia tidak dapat menghentikannya seketika, dan tanpa sengaja memotong lengan anak tersebut. Melihat bayinya terluka, sang ibu menjadi marah dan bermaksud membunuh Bhikkhu tersebut. Ketika ia mulai mengangkat kedua tangannya untuk menyerang, tiba-tiba ia berhenti dan berpikir, “Bila aku membunuh seorang Bhikkhu, berarti aku membunuh seseorang yang menjalankan peraturan moral (sīla). Hal ini akan membuat aku menderita di alam neraka (niraya). Dewa pohon lainnya akan meniru apa yang kuperbuat, dan semakin banyak Bhikkhu akan terbunuh. Bhikkhu ini pasti memiliki guru, aku harus menemui gurunya.”

Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha. Sambil menangis ia menceritakan semua yang telah menimpanya. Kepadanya, Sang Buddha berkata, “O Rukkha Deva, kau telah berhasil baik mengendalikan dirimu sendiri.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 222 berikut:

Barang siapa yang dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak
seperti menahan kereta yang sedang melaju,
ia patut disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya
hanya sebagai pemegang kendali belaka.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Rukkha Deva mencapai tingkat kesucian Sotāpatti dan ia pun diperbolehkan mendiami sebatang pohon di dekat kamar harum (Gandha Kuti) Sang Buddha. Semenjak kejadian itu, Sang Buddha melarang para Bhikkhu menebangi tumbuh-tumbuhan seperti rumput, tanaman, semak belukar, dan pepohonan.



Dhammapada 223
Kisah Uttara, Seorang Umat Awam

Uttara adalah putri dari Punna, seorang buruh tani yang bekerja pada pria kaya bernama Sumana di Rājagaha. Suatu hari, Punna dan istrinya berdana makanan kepada Sāriputta Thera di saat Beliau baru saja mencapai keadaan pencerapan mental yang dalam (nirodha sampatti). Sebagai akibat dari perbuatan baik itu, mereka mendadak menjadi kaya. Punna menemukan emas di tanah yang ia bajak, dan secara resmi raja menyatakan Punna sebagai seorang bankir yang besar.

Pada suatu kesempatan, Punna sekeluarga berdana makanan kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu selama tujuh hari, dan pada hari ketujuh, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian Sotāpatti.

Kemudian Uttara, putri Punna menikah dengan anak Sumana. Keluarga Sumana bukan keluarga Buddhis, sehingga Uttara tidak merasa bahagia di rumah suaminya. Ia pun bercerita kepada ayahnya, Punna, “Ayah, mengapa ayah mengurung saya di kandang ini? Di sini saya tidak melihat para Bhikkhu dan saya tidak memiliki kesempatan berdana kepada para Bhikkhu.”

Punna menjadi menyesal dan ia segera memberi uang sebesar 15.000 kepada Uttara. Setelah mendapat izin dari suaminya, Uttara menggunakan uangnya untuk menyewa seorang wanita untuk menggantikan dirinya memenuhi kebutuhan suaminya. Akhirnya ditetapkan bahwa Sirima, seorang pelacur yang sangat cantik dan terkenal, menggantikannya sebagai seorang istri selama 15 hari.

Selama waktu itu, Uttara memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu. Pada hari kelima belas, saat ia sibuk menyiapkan makanan di dapur, suaminya melihat dari balik jendela kamar dan tersenyum seraya bergumam pada dirinya sendiri, “Betapa bodohnya ia. Dia tak tahu cara bersenang-senang. Dia selalu menyibukkan diri dengan upacara pemberian dana.”

Sirima melihat suami Uttara tersenyum pada Uttara, ia menjadi sangat cemburu pada Uttara, ia lupa bahwa dirinya hanya sebagai istri pengganti yang dibayar. Menjadi tak terkendali, segera Sirima pergi ke dapur dan mengambil sesendok besar mentega panas dengan maksud mengguyurkannya ke kepala Uttara. Uttara melihatnya datang, namun ia tidak memiliki maksud buruk pada Sirima. Ia menyadari, berkat Sirima-lah ia dapat mendengarkan Dhamma, berdana makanan, dan berbuat kebaikan lainnya, sehingga ia merasa berterima kasih pada Sirima.

Tiba-tiba ia menyadari bahwa Sirima datang mendekat dan hendak menuangkan mentega panas ke arahnya, ia pun berseru, “Bila aku memiliki maksud buruk terhadap Sirima, biarlah mentega panas ini melukaiku, tapi bila aku tidak memiliki maksud buruk padanya, mentega panas ini tak akan melukaiku.”

Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhadap Sirima, mentega panas yang dituang di kepalanya hanya terasa bagai air dingin. Sirima berpikir pasti mentega itu telah menjadi dingin saat dituangkan, maka ia bermaksud mengambil mentega panas yang lain. Saat hendak menuangkan mentega panas tersebut, pelayan-pelayan Uttara menyerang dan memukulnya. Uttara menghentikan para pelayannya dan menyuruh mereka mengobati luka Sirima dengan balsam.

Akhirnya Sirima teringat akan kedudukannya yang sebenarnya, dan ia menyesal telah melakukan kesalahan terhadap Uttara, dan meminta Uttara mengampuninya. Uttara pun menjawab, “Aku memiliki seorang ayah. Aku harus bertanya, apakah aku harus menerima permintaan maafmu.” Sirima berkata bahwa ia siap pergi memohon pengampunan pada Punna, ayah Uttara.

Uttara menjelaskan padanya, “Sirima, saat aku mengatakan ‘ayahku’, maksud saya bukan ayahku yang sebenarnya, yang membawaku pada rantai kelahiran kembali ini. Yang kumaksud ‘ayahku’ adalah Sang Buddha, yang telah menolongku memotong rantai kelahiran kembali, yang telah mengajariku Dhamma, kebenaran sejati.”

Sirima pun memohon untuk bertemu dengan Sang Buddha. Sehingga pada hari berikutnya direncanakan Sirima akan menyerahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu.

Setelah bersantap, Sang Buddha diberitahu perihal Sirima dan Uttara. Kemudian Sirima mengakui bahwa ia telah berbuat kesalahan terhadap Uttara dan memohon Sang Buddha, apakah ia dapat dimaafkan, karena jika tidak, Uttara tidak akan memaafkannya. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Uttara bagaimana perasaannya saat Sirima menyiramkan mentega panas ke arahnya.

Uttara pun menjawab, “Bhante, karena saya telah berutang budi pada Sirima, saya tetap tidak naik darah, tidak memiliki maksud buruk padanya. Saya selalu memancarkan cinta saya kepadanya.”

Lalu Sang Buddha berkata “Bagus, bagus, Uttara! Dengan tidak memiliki maksud jahat, kau telah mengatasi mereka yang berbuat kesalahan kepadamu. Dengan tidak melukai, kau dapat mengatasi mereka yang melukaimu. Dengan bermurah hati kau dapat mengatasi orang kikir, dengan berbicara benar kau dapat mengatasi mereka yang berbohong.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 223 berikut:

Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih
dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan.
Kalahkan kekikiran dengan kemurahan hati,
dan kalahkan kebohongan dengan kejujuran.

Sirima dan lima ratus wanita mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir. 



Dhammapada 224
Kisah Pertanyaan Mahāmoggallāna Thera

Ketika itu, Mahāmoggallāna Thera mengunjungi alam surga dan menjumpai banyak dewa yang tinggal di tempat mewah. Beliau bertanya kepada mereka, perbuatan baik apa yang menyebabkan mereka terlahir di alam surga, dan mereka pun memberikan jawaban yang berbeda-beda. Dewa yang satu mengatakan ia terlahir di alam surga bukan karena ia banyak berdana atau sering mendengarkan Dhamma, tetapi hanya karena ia selalu berbicara benar. Dewa kedua adalah dewa wanita yang terlahir di alam surga karena ia tidak pernah marah pada tuannya dan tidak memiliki maksud buruk padanya, meskipun tuannya sering memukul dan menyiksanya. Dengan meredam kemarahan dan menghindari kebencian, ia terlahir di alam surga. Selanjutnya, ada yang terlahir di alam surga karena sedikit berdana seperti mendanakan gula tebu, buah, atau beberapa sayuran kepada seorang Bhikkhu atau pada orang lain.

Setelah kembali dari alam surga, Mahāmoggallāna Thera bertanya kepada Sang Buddha, apakah mungkin meraih banyak keuntungan hanya dengan bicara benar, atau mengendalikan perbuatan, atau dengan memberikan sedikit barang seperti buah dan sayuran.

Sang Buddha menjawab, “Anak-Ku, mengapa bertanya hal itu? Apakah Kamu tidak melihat dan mendengar sendiri apa yang dewa-dewa itu katakan? Seharusnya Engkau tidak meragukannya. Sedikit perbuatan baik pasti akan membawa seseorang terlahir di alam surga.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 224 berikut:

Hendaknya orang berbicara benar,
hendaknya orang tidak marah,
hendaknya orang memberi walaupun sedikit
kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan tiga cara ini,
orang dapat pergi ke antara para dewa. 



Dhammapada 225
Kisah Seorang Brahmana yang Mengaku Sebagai “Ayah Sang Buddha”

Suatu saat Sang Buddha bersama beberapa Bhikkhu memasuki Kota Saketa untuk ber-pindapatta. Seorang brahmana tua melihat Sang Buddha, mendekati-Nya, lalu berseru, “O Nak! Mengapa Engkau tidak mengizinkan kami melihat-Mu selama ini? Ikutlah bersamaku dan biarlah ibu-Mu juga melihat-Mu.” Setelah berkata demikian, ia mengundang Sang Buddha ke rumahnya. Sampai di rumahnya, istri brahmana pun mengatakan hal yang sama dan memperkenalkan Sang Buddha sebagai ‘kakak tertua’ kepada anak-anaknya dan menyuruh mereka memberi hormat kepada-Nya. Sejak hari itu, suami istri tersebut memberikan dana makanan kepada Sang Buddha setiap hari dan setelah mendengarkan beberapa khotbah Dhamma, suami istri itu mencapai tingkat kesucian Anagami.

Para Bhikkhu heran, mengapa pasangan brahmana itu mengatakan bahwa Sang Buddha adalah putra mereka, mereka pun bertanya kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menjelaskan, “Para Bhikkhu, mereka memanggil-Ku ‘Nak’ karena Aku adalah anak atau kemenakan dari salah satu di antara mereka selama 1.500 kali kelahiran yang lampau.” Sang Buddha terus tinggal di dekat rumah pasangan brahmana sampai tiga bulan lebih, dan selama itu, baik brahmana maupun istrinya mencapai tingkat kesucian Arahat, kemudian merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbāna).

Para Bhikkhu tidak mengetahui bahwa pasangan brahmana itu telah mencapai tingkat kesucian Arahat, mereka bertanya kepada Sang Buddha, di mana pasangan itu akan terlahir kembali. Sang Buddha menjawab, “Mereka yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat, tidak akan terlahir kembali di mana pun juga, mereka telah merealisasi ‘Kebebasan Mutlak’ (Nibbāna).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 225 berikut:

Orang-orang suci yang tidak menganiaya makhluk lain
dan selalu terkendali jasmaninya,
akan sampai pada "Keadaan Tanpa Kematian"(Nibbāna);
dan setelah sampai pada keadaan itu,
kesedihan tak akan ada lagi dalam dirinya.

 


Dhammapada 226
Kisah Punna, Seorang Budak Wanita

Suatu malam, Punna, seorang budak wanita, sedang menumbuk padi untuk tuannya. Karena lelah, ia beristirahat sejenak. Saat beristirahat, ia melihat Dabba Thera memimpin beberapa Bhikkhu berjalan menuju vihāra, setelah mereka mendengarkan Dhamma. Gadis itu melihat mereka masih terjaga, ia pun merenung, “Aku masih terjaga hingga larut malam karena aku seorang yang miskin dan harus bekerja keras. Tapi mengapa orang-orang baik ini masih terjaga pada malam selarut ini? Mungkinkah ada Bhikkhu yang sakit, ataukah mereka diganggu seekor ular?”

Keesokan paginya, Punna mengambil sedikit beras hancur, merendamnya dalam air dan mengolahnya menjadi roti. Kemudian dengan maksud memakannya di tepi sungai, ia membawa roti kasar dan sederhana itu.

Pada saat itu, ia melihat Sang Buddha datang dan sedang ber-pindapatta. Ia bermaksud mendanakan roti itu pada Sang Buddha, tapi ia tak yakin apakah Sang Buddha berkenan memakan roti murah yang kasar itu. Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirkan gadis tersebut. Beliau menerima rotinya dan menyuruh Ananda Thera untuk menggelar tikar kecil di tanah. Sang Buddha duduk di atas tikar dan memakan roti yang diberikan oleh budak wanita itu.

Setelah bersantap, Sang Buddha memanggil Punna dan menjawab pertanyaan semalam yang membuatnya bingung. “Punna, kau tidak dapat pergi tidur karena kau miskin dan harus bekerja keras. Begitu pula dengan anak-anak-Ku, para Bhikkhu, mereka tidak tidur karena mereka harus selalu waspada dan sadar.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 226 berikut:

Mereka yang senantiasa sadar,
tekun melatih diri siang dan malam,
selalu mengarahkan batin ke Nibbāna,
maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah.

Punna mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  


Dhammapada 227, 228, 229, dan 230
Kisah Atula, Seorang Umat Awam

Suatu saat, Atula bersama dengan 500 orang temannya, mengunjungi Revata Thera, dengan harapan dapat mendengarkan Dhamma. Revata Thera yang pendiam seperti seekor singa, tidak mengatakan apa pun pada mereka. Atula dan teman-temannya sangat tidak puas dan kemudian pergi menghadap Sāriputta Thera. Saat Sāriputta Thera mengetahui mengapa mereka datang, Beliau menjelaskan Abhidhamma secara mendalam. Apa yang dijelaskan Sāriputta Thera juga bukanlah yang mereka harapkan, dan mereka mengeluh bahwa uraian Sāriputta Thera panjang dan terlalu mendalam.

Kemudian Atula dan rombongannya mendekati Ananda Thera. Ananda Thera menjelaskan pada mereka sedikit tentang inti dari ajaran Dhamma. Kali ini, mereka menilai bahwa penjelasan Ananda Thera terlalu singkat dan kurang lengkap.

Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, “Bhante, kami datang untuk mendengarkan ajaran-Mu. Kami telah menemui beberapa guru sebelum kami datang ke sini, tapi kami tidak puas. Revata Thera tidak berkenan mengajar kami dan hanya berdiam diri. Penjelasan Sāriputta Thera terlalu mendalam, dan Dhamma yang diajarkan terlalu sukar. Begitu pula Ananda Thera, Beliau menjelaskan terlalu singkat dan kurang lengkap. Kami tidak menyukai apa yang Mereka ajarkan.”

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Murid-murid-Ku, mencela orang lain bukanlah hal yang baru. Tak satu pun orang di dunia ini yang tak pernah dicela, orang-orang akan mencela meskipun seorang raja atau bahkan seorang Buddha. Dicela atau dipuji oleh orang bodoh, tidaklah berarti. Seseorang akan benar-benar tercela hanya bila ia dicela oleh orang bijaksana, dan benar-benar terpuji hanya bila dipuji oleh orang bijaksana.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 227, 228, 229, dan 230 berikut ini:

O Atula, hal ini telah ada sejak dahulu
dan bukan saja ada sekarang,
di mana mereka mencela orang yang duduk diam,
mereka mencela orang yang banyak bicara,
mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.
Tak ada seorang pun di dunia ini
yang tak dicela.

Tidak pada zaman dahulu,
waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang,
dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela
maupun yang selalu dipuji.

Setelah memperhatikan secara saksama,
orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela,
pandai, serta memiliki kebijaksanaan dan sīla.

Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela
seperti sepotong emas murni?
Para dewa akan selalu memujinya,
begitu pula para brahmana.

Atula dan teman-temannya mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

 

Dhammapada 231, 232, 233, dan 234
Kisah Enam Bhikkhu

Enam Bhikkhu dengan mengenakan sandal kayu, serta masing-masing memegang tongkat pada kedua tangannya, berjalan mondar-mandir pada sebuah batu yang besar, sehingga menimbulkan suara keras. Sang Buddha mendengar suara ribut itu dan bertanya kepada Ananda Thera, apa yang terjadi. Ananda Thera menjelaskan perihal perilaku enam Bhikkhu tersebut. Kemudian Sang Buddha melarang para Bhikkhu untuk menggunakan sandal kayu. Selanjutnya Beliau menganjurkan para Bhikkhu agar mengendalikan diri mereka, baik dalam ucapan maupun perbuatannya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 231, 232, 233, dan 234 berikut ini:

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan jasmani,
hendaklah ia selalu mengendalikan jasmaninya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui jasmani,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui jasmani.

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapan,
hendaklah ia mengendalikan ucapannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan pikiran,
hendaklah ia mengendalikan pikirannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui pikiran,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran.

Para bijaksana terkendali perbuatan, ucapan, dan pikirannya.
Sesungguhnya mereka itu benar-benar telah dapat menguasai diri.

3 Buku ke-4: Dhammapada XVIII: MALA VAGGA - Noda-Noda (235-255)

Yang warna merah adalah koleksi yang sudah dilakukan saat pemeriksaan ilustrasi Dhammapada.


Dhammapada 235, 236, 237, dan 238
Kisah Putra Seorang Penjagal

Suatu ketika di Sāvatthī, ada seorang pria yang menjadi penjagal ternak selama dua puluh lima tahun. Selama itu ia menyembelih ternak dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging. Suatu hari ia memberikan sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai.

Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari daging, maka si penjagal bergegas pergi ke belakang rumah, tempat terdapat seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di atas api. Ketika makan si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut, bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas piring nasi. Sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama, sama-sama terpotong lidahnya.

Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang teramat sangat, ia merangkak ke sana kemari, dengan banyak darah bercucuran dari mulutnya. Kemudian penjagal tersebut meninggal dan terlahir kembali di alam Neraka Avici (Niraya Avici).

Istri si penjagal merasa sangat gelisah dan ia menginginkan putranya pindah ke tempat tinggal yang lain, agar kemalangan tidak menimpa dirinya pula. Maka ia mengirimkan putranya ke Taxila. Di Taxila, putra si penjagal mempelajari seni dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi putri gurunya dan mempunyai beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka sudah dewasa, ia kembali ke Sāvatthī. Anak-anaknya menganut ajaran Sang Buddha dan telah meningkat keyakinannya. Mereka mengkhawatirkan ayah mereka, yang telah menjadi tua tanpa pernah memikirkan Dhamma ataupun kehidupannya yang akan datang.

Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, mereka berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari ini atas nama ayah kami. Berikanlah khotbah secara khusus padanya.”

Sang Buddha berkata, “Murid-Ku! Engkau telah menjadi tua, tapi engkau belum membuat persiapan kebajikan untuk perjalananmu pada kelahiran berikutnya, sekarang engkau sebaiknya mencari penolong bagi dirimu sendiri.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 235, 236, 237, dan 238 berikut ini:

Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu.
Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan,
namun tidak kaumiliki bekal untuk perjalanan nanti.

Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda
dan bebas dari nafsu keinginan,
maka engkau akan mencapai kedamaian para Ariya.

Sekarang kehidupanmu telah mendekati akhir,
dan engkau telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian (Yama).
Tidak ada tempat bagimu berhenti di perjalanan,
sedangkan engkau belum memiliki bekal untuk perjalananmu.

Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda
dan bebas dari nafsu keinginan,
maka kelahiran dan kematian
tidak akan datang lagi padamu.

Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal) mencapai tingkat kesucian Anagami setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

 


Dhammapada 239
Kisah Seorang Brahmana

Suatu saat, seorang brahmana menyaksikan sekelompok Bhikkhu sedang membenahi jubah, ketika mereka mempersiapkan diri memasuki kota untuk menerima dana makanan. Ia juga melihat jubah beberapa Bhikkhu menyentuh tanah dan menjadi basah oleh embun yang terdapat di rerumputan. Maka ia membersihkan bidang tanah itu.

Hari berikutnya, ia melihat jubah para Bhikkhu menyentuh tanah lumpur, jubah tersebut menjadi kotor. Ia menutupi tanah tersebut dengan pasir. Kemudian, ia memperhatikan bahwa para Bhikkhu akan berkeringat saat matahari bersinar dan menjadi basah saat hujan turun. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah peristirahatan untuk para Bhikkhu di tempat mereka biasa berkumpul sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan.

Ketika bangunan telah selesai, ia mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk menerima dana makanan. Brahmana menjelaskan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah melaksanakan perbuatan baik tersebut selangkah demi selangkah.

Kepadanya Sang Buddha berkata, “O Brahmana! Para bijaksana melaksanakan perbuatan baik mereka sedikit demi sedikit, dan secara bertahap serta terus-menerus mereka menanggalkan noda-noda kekotoran batin,”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 239 berikut:

Dengan latihan bertahap,
sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu,
hendaklah orang bijaksana
membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya,
bagaikan seorang pandai perak
membersihkan perak yang berkarat.

Brahmana itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

 


Dhammapada 240
Kisah Tissa Thera

Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Sāvatthī. Pada suatu hari, ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia.

Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa seperangkat jubah tersebut akan dibagi bersama oleh Bhikkhu-Bhikkhu yang lain.

Ketika para Bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak, “Mereka sedang merusak jubahku!” Teriakan ini didengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan para Bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk menyelesaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada hari kedelapan, seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para Bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha ditanya oleh para Bhikkhu, mengapa Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian jubah Tissa Thera. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Ketika engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu, Tissa, si kutu akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di alam neraka (niraya). Tetapi sekarang Tissa telah bertumimbal lahir di alam dewa Tusita, dan sebab itu, Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah tersebut.

“Sebenarnya, para Bhikkhu, kemelekatan sangatlah berbahaya, seperti karat merusak besi tempat ia terbentuk, begitu pula kemelekatan menghancurkan seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang Bhikkhu sebaiknya tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan pokok.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 240 berikut:

Bagaikan karat yang timbul dari besi,
bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri,
begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk
akan menjerumuskan pelakunya
ke alam kehidupan yang menyedihkan.

 

 

Dhammapada 241
Kisah Laludayi

Di Sāvatthī, banyak orang memberikan pujian setelah mendengar khotbah-khotbah dari dua Murid Utama, Sāriputta Thera dan Mahāmoggallāna Thera.

Suatu ketika, Laludayi, setelah mendengar pujian mereka, ia berkata kepada orang-orang  bahwa mereka akan mengatakan hal yang sama setelah mendengar khotbah-khotbahnya. Mendengar hal itu, Laludayi diminta untuk menyampaikan suatu khotbah. Ia naik ke panggung tetapi ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Maka ia meminta para pendengar untuk mempersilakan Bhikkhu yang lain terlebih dahulu dan ia akan mengambil giliran berikutnya. Dengan cara yang sama, ia menunda sampai tiga kali.

Para pendengar kehilangan kesabaran dan berteriak, “Engkau orang bodoh! Ketika kami memuji kedua Murid Utama engkau membual bahwa engkau bisa berkhotbah seperti mereka. Mengapa engkau tidak berkhotbah sekarang?”

Laludayi melarikan diri dan kerumunan orang tersebut mengejarnya. Karena sangat takut dan tidak memperhatikan ke mana ia melangkah, Laludayi terjatuh ke dalam sebuah lubang kotoran.

Ketika Sang Buddha mendengar kejadian tersebut, Beliau berkata, “Laludayi sangat sedikit mempelajari Dhamma; dia tidak mengulang-ulang pengetahuan Dhamma secara teratur; dia tidak mengingat apa pun. Apa pun yang telah sedikit ia pelajari menjadi berkarat karena tidak diulang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 241 berikut:

Tidak membaca ulang adalah noda bagi mantra,
tidak berusaha adalah noda bagi kehidupan berumah tangga.
Kemalasan adalah noda bagi kecantikan,
dan kelengahan adalah noda bagi seorang penjaga.



Dhammapada 242 dan 243
Kisah Seorang Pria yang Istrinya Melakukan Penyelewengan

Suatu ketika, ada seorang istri yang menyeleweng. Suaminya begitu malu atas kelakuan istrinya sehingga ia tidak berani menemui orang lain; ia juga menghindari Sang Buddha. Setelah beberapa waktu, ia pergi menjumpai Sang Buddha dan Beliau bertanya mengapa ia tidak kelihatan selama ini dan ia pun menjelaskan semuanya.

Setelah mendengarkan alasan ketidakhadiran laki-laki itu, Sang Buddha berkata, “Murid-Ku, wanita itu seperti sebuah sungai, atau jalan, atau toko minuman, atau rumah peristirahatan, atau pot air, yang berdiri di pinggir jalan, mereka berhubungan (bergaul) dengan semua jenis orang. Tentunya hubungan intim yang salah merupakan penyebab kehancuran seorang wanita.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 242 dan 243 berikut ini:

Kelakuan buruk adalah noda bagi seorang wanita,
kekikiran adalah noda bagi seorang dermawan.
Sesungguhnya, segala bentuk kejahatan merupakan noda,
baik dalam dunia ini maupun dalam dunia selanjutnya.

Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan.
Kebodohan merupakan noda paling buruk.
O, para Bhikkhu, singkirkanlah noda ini
dan hiduplah tanpa noda.

Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma berakhir.


 

Dhammapada 244 dan 245
Kisah Culasari

Suatu hari, Culasari berjalan pulang dari mengunjungi seorang pasien. Dalam perjalanan, ia berjumpa Sāriputta Thera dan bercerita, bagaimana ia merawat seorang pasien serta mendapatkan makanan enak untuk pelayanannya. Ia juga meminta Sāriputta Thera untuk menerima sebagian dari makanan tersebut. Sāriputta Thera tidak mengatakan apa pun kepadanya melainkan terus melanjutkan perjalanan. Sāriputta Thera menolak menerima makanan dari Bhikkhu itu karena ia telah melanggar peraturan yang melarang para Bhikkhu membuka praktik pengobatan.

Bhikkhu-Bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata kepada mereka, “Para Bhikkhu! Seorang Bhikkhu yang tidak tahu malu itu buruk dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia sombong seperti seekor gagak, ia menghidupi diri dengan cara yang melanggar peraturan dan hidup dalam kenikmatan. Di sisi lain, kehidupan bagi seorang Bhikkhu yang memiliki malu tidaklah mudah.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 244 dan 245 berikut ini:

Hidup ini mudah bagi orang yang tidak tahu malu,
yang suka menonjolkan diri seperti seekor burung gagak,
suka menfitnah, tidak tahu sopan santun, pongah,
dan menjalankan hidup kotor.

Hidup ini sukar bagi orang yang tahu malu,
yang senantiasa mengejar kesucian,
yang bebas dari kemelekatan, rendah hati,
menjalankan hidup bersih dan penuh perhatian.

Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma berakhir.



Dhammapada 246, 247, dan 248
Kisah Lima Murid Awam

Suatu ketika, lima murid awam melaksanakan hari puasa (Uposatha) di Vihāra Jetavana. Sebagian besar dari mereka hanya menjalankan satu atau dua peraturan moral (sīla) saja dari ‘Lima Peraturan Moral’ (Pancasīla). Masing-masing dari mereka yang menjalankan salah satu sīla tertentu tersebut menyatakan bahwa sīla yang dijalankannya merupakan sīla yang paling sulit dan kemudian terjadi perdebatan. Akhirnya, mereka menghadap Sang Buddha dengan membawa masalah ini.

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Engkau tidak boleh menganggap suatu sīla itu mudah atau tidak penting. Setiap sīla harus dijalankan dengan tetap. Jangan menganggap ringan sīla yang mana pun, tidak ada sīla yang mudah dijalankan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 246, 247 dan 248 berikut ini:

Barang siapa membunuh makhluk hidup,
suka berbicara tidak benar,
mengambil apa yang tidak diberikan,
merusak kesetiaan istri orang lain,

Atau menyerah pada minuman yang memabukkan;
maka di dunia ini orang seperti itu
bagaikan menggali kubur
bagi dirinya sendiri.

Orang baik, ketahuilah bahwa sesungguhnya
tidak mudah mengendalikan hal-hal yang jahat.
Jangan biarkan keserakahan dan kejahatan
menyeretmu ke dalam penderitaan yang tak berkesudahan.

Lima murid awam mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 249 dan 250
Kisah Tissa

Tissa, seorang Bhikkhu muda, mempunyai kebiasaan yang sangat buruk yaitu melecehkan kemurahan hati dan perbuatan baik orang lain. Ia bahkan mencela dana yang diberikan oleh Anathapindika dan Visakha. Di samping itu, ia membual bahwa teman-temannya sangatlah kaya bagaikan sumur, tempat setiap orang bisa mendapatkan air.

Mendengar ia membual demikian, para Bhikkhu yang lain tidak percaya, maka mereka memutuskan untuk menemukan kebenarannya. Beberapa Bhikkhu muda pergi ke desa asal Tissa dan mencari keterangan tentang hal ini. Mereka menemukan kenyataan bahwa semua teman-teman Tissa miskin, dan selama ini Tissa hanya membual saja.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, seorang Bhikkhu yang tidak senang orang lain menerima pemberian dan persembahan, ia tidak akan pernah mencapai ‘Jalan dan Hasil Kesucian’ (magga dan phala).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 249 dan 250 berikut ini:

Orang-orang memberi sesuai dengan keyakinan
dan menurut kesenangan hati mereka.
Karena itu barang siapa yang merasa iri
atas makanan dan minuman orang lain,
ia tidak akan memperoleh kedamaian batin,
baik siang maupun malam.

Orang yang telah memotong perasaan iri hati ini seluruhnya,
mencabut akar-akarnya serta menghancurkannya,
akan memperoleh kedamaian batin,
baik siang maupun malam.

 

 

Dhammapada 251
Kisah Lima Murid Awam

Pada suatu ketika, lima murid awam hadir pada saat Sang Buddha sedang berkhotbah Dhamma di Vihāra Jetavana. Seorang dari mereka duduk tertidur, orang kedua menggambar garis-garis di tanah dengan jarinya, orang ketiga mencoba mengguncang sebatang pohon, dan orang keempat memandangi langit. Orang kelima merupakan satu-satunya murid yang mendengarkan Sang Buddha dengan hormat dan penuh perhatian.

Ananda Thera, yang berada di dekat Sang Buddha, sambil mengipasi, Ananda melihat tingkah laku lima murid awam yang berbeda tersebut. Ia berkata kepada Sang Buddha, “Bhante! Sementara Bhante menguraikan Dhamma seperti tetesan air hujan jatuh dari langit, hanya satu dari lima orang itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian.” Kemudian Ananda Thera menyampaikan tingkah laku yang berbeda dari empat orang itu terhadap Sang Buddha dan bertanya mengapa mereka bertingkah laku demikian.

Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda Thera, “Ananda, orang-orang ini tidak dapat menyingkirkan kebiasaan lama mereka. Dalam kehidupan mereka yang lampau, orang pertama adalah seekor ular. Seekor ular biasa melingkarkan dirinya dan tertidur, demikian pula, orang ini tertidur ketika mendengarkan Dhamma.

Orang yang mengais tanah dengan jari tangannya adalah seekor cacing tanah, yang mengguncang pohon adalah seekor kera, yang menatap langit adalah seorang ahli ilmu bintang, dan orang yang mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian adalah seorang peramal terpelajar.” 
 

“Dalam kaitan ini, Ananda harus ingat bahwa seseorang haruslah penuh perhatian untuk dapat memahami Dhamma dan banyak sekali orang yang tidak dapat menjalankan hal ini.”

Kemudian Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante! Hal-hal apa yang menghalangi orang untuk dapat mengerti Dhamma?”

Sang Buddha menjawab, “Ananda, nafsu (raga), kebencian (dosa), dan ketidaktahuan (moha) adalah tiga hal yang menghalangi orang mengerti Dhamma. Nafsu membakar seseorang, tidak ada api sepanas nafsu. Dunia mungkin saja terbakar ketika tujuh matahari muncul di angkasa, tetapi itu jarang sekali terjadi. Namun nafsu selalu membakar tanpa henti.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 251 berikut:

Tiada api yang menyamai nafsu,
tiada cengkeraman yang dapat menyamai kebencian,
tiada jaring yang dapat menyamai ketidaktahuan,
dan tiada arus yang sederas nafsu keinginan.

Murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 252
Kisah Mendaka si Orang Kaya

Suatu ketika, dalam perjalanan Beliau ke wilayah Anga dan Uttara, Sang Buddha mengetahui dari penglihatan luar biasa-Nya bahwa telah tiba saatnya bagi Mendaka, istrinya, putranya, menantunya, cucu perempuannya, dan pelayannya untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, maka Sang Buddha pergi ke Kota Baddiya.

Mendaka adalah seorang pria yang teramat kaya raya. Menurut kabar, ia telah menemukan sejumlah besar patung kambing dari emas dalam ukuran yang sebenarnya di halaman belakang rumahnya. Karena alasan tersebut, ia dikenal sebagai Mendaka (kambing) si orang kaya.

Menurut kabar pula, pada masa Buddha Vipassi, ia telah berdana sebuah vihāra untuk Buddha Vipassi dan sebuah gedung pertemuan lengkap dengan podium untuk berkhotbah. Selama pembangunan gedung tersebut, ia memberikan persembahan dana makanan kepada Buddha Vipassi dan para Bhikkhu selama empat bulan.

Pada masa lain dalam kehidupannya yang lampau, ketika ia menjadi seorang kaya di Baranasi, terjadi bencana kelaparan di seluruh daerah tersebut. Suatu hari, mereka memasak makanan yang hanya cukup untuk anggota keluarga saja.

Saat itu, lewatlah seorang Paccekabuddha yang sedang ber-pindapatta. Ia mempersembahkan seluruh makanan tersebut. Karena kesetiaan dan kemurahan hatinya yang luhur, tempat nasinya kemudian ditemukan terisi lagi secara ajaib, demikian pula lumbungnya.

Mendaka dan keluarganya mendengar bahwa Sang Buddha datang ke Baddiya, mereka pergi untuk memberi hormat kepada Beliau. Setelah mendengarkan khotbah yang diberikan Sang Buddha, istrinya Candapaduma, anaknya Danancaya, menantunya Sumanadevi, cucu perempuannya Visakha, dan pelayannya Punna mencapai tingkat kesucian Sotāpatti.

Kemudian Mendaka menceritakan kepada Sang Buddha bahwa dalam perjalanannya tadi beberapa petapa telah mengatakan hal-hal yang buruk tentang Sang Buddha dan mencegahnya untuk datang mengunjungi Beliau.

Sang Buddha kemudian berkata, “Murid-Ku, sudah biasa bahwa orang tidak melihat kesalahannya sendiri, dan membesar-besarkan kesalahan dan keburukan orang lain.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 252 berikut:

Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain,
tetapi sangat sulit untuk melihat
kesalahan-kesalahan sendiri.
Seseorang dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain
seperti menampi dedak,
tetapi ia menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri
seperti penjudi licik
menyembunyikan dadu yang berangka buruk.


Dhammapada 253
Kisah Ujjhanasanni Thera

Ujjhanasanni Thera selalu mencari kesalahan dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain. Bhikkhu-Bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, “Para Bhikkhu, jika seseorang menemukan kesalahan orang lain kemudian memberitahukan hal-hal yang benar, maka itu bukanlah perbuatan jahat, dan tidak dapat disalahkan. Tetapi, jika seseorang selalu mencari kesalahan orang lain dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain hanya karena dengki dan iri hati, ia tidak akan mencapai konsentrasi dan pencerapan mental (jhana). Ia tidak akan bisa memahami Dhamma dan kekotoran batinnya (asava) akan bertambah.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 253 berikut:

Barang siapa yang selalu memperhatikan
dan mencari-cari kesalahan orang lain,
maka kekotoran batin dalam dirinya
akan bertambah
dan ia semakin jauh dari penghancuran
kekotoran-kekotoran batin.



Dhammapada 254 dan 255
Kisah Subhadda si Petapa Pengembara

Subhadda si petapa pengembara sedang menetap di Kusinara ketika ia mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbāna pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama yang lain, misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana, Sancaya Belatthaputta, dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa hanya Sang Buddha-lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A. Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu : (1) Apakah ada jalan di langit?, (2) Apakah ada Bhikkhu-Bhikkhu suci (samana) di luar ajaran Sang Buddha?, dan (3) Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara) yang abadi? Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan tersebut adalah ‘tidak ada’.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini:

Tidak ada jejak di angkasa,
tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Umat manusia bergembira di dalam belenggu,
tetapi Para Tathagata telah bebas dari semua itu.

Tidak ada jejak di angkasa,
tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi.
Tidak ada lagi keragu-raguan bagi Para Buddha.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian Anagami, dan atas permohonannya, Sang Buddha menerima Subhadda sebagai anggota persamuhan Bhikkhu (Sagha).

Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi Bhikkhu pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Akhirnya, Subhadda mencapai tingkat kesucian Arahat.

4 Buku ke-4: Dhammapada XIX: DHAMMATTHA VAGGA - Orang Adil (256-272)

Dhammapada 256 dan 257
Kisah Para Hakim

Suatu hari, beberapa Bhikkhu sedang berjalan pulang dari menerima dana makanan. Ketika hujan turun, mereka berteduh di suatu gedung pengadilan. Saat berada di sana, mereka melihat bahwa beberapa orang hakim, setelah menerima uang suap, membebaskan suatu perkara. Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata, “Para Bhikkhu! Dalam memutuskan suatu perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’. Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara tidak memihak, maka ia disebut ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257:

Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa
tidak dapat dikatakan sebagai orang adil.
Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti
mana yang benar dan mana yang salah. 

Orang yang mengadili orang lain dengan tidak tergesa-gesa,
bersikap adil dan tidak berat sebelah,
yang senantiasa menjaga kebenaran,
pantas disebut orang adil.

 

Dhammapada 258
Kisah Kelompok Enam Bhikkhu

Suatu ketika, terdapat kelompok enam Bhikkhu yang selalu membuat keributan di tempat makan, baik di vihāra maupun di desa. Suatu hari, ketika beberapa samanera sedang makan dana makanan yang mereka dapatkan, kelompok enam Bhikkhu itu datang dan membual kepada para samanera, “Lihat! Hanya kamilah orang yang bijaksana.” Kemudian mereka melempar-lemparkan benda-benda ke sekeliling, meninggalkan tempat makan dalam keadaan kacau.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, ”Para Bhikkhu! Aku tidak menyebut orang yang banyak bicara, mencaci, dan menggertak orang lain sebagai seorang bijaksana. Hanya mereka yang bebas dari kebencian dan tidak merugikan orang lainlah yang merupakan orang bijaksana.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 258 berikut:

Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana
hanya karena ia banyak bicara.
Tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci, dan rasa takut
dapat disebut orang bijaksana.

 

Dhammapada 259
Kisah Arahat Ekudana

Bhikkhu dalam cerita ini hidup di sebuah hutan kecil di dekat Sāvatthī. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja dari Kitab Udana. Thera itu mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang terkandung dalam bait tersebut. Pada setiap hari uposatha, dia mendesak orang lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan mengucapkan satu-satunya syair yang dihafalnya itu. Setiap kali selesai mengucapkan bait itu, para dewa dalam hutan memuji dan menyambutnya dengan tepuk tangan.

Pada suatu hari uposatha, dua thera yang terpelajar, yang benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diiringi oleh lima ratus Bhikkhu datang ke tempat itu. Ekudana meminta kedua thera tersebut untuk memberikan khotbah Dhamma. Mereka bertanya apakah banyak yang ingin mendengarkan Dhamma di tempat yang terpencil itu. Ekudana membenarkan dan juga menceritakan kepada mereka bahwa para dewa dalam hutan itu biasanya datang, mereka selalu memuji dan bertepuk tangan pada akhir khotbah.

Maka, kedua thera itu mulai memberikan khotbah Dhamma, tetapi ketika khotbah mereka berakhir, tidak ada tepuk tangan dari para dewa dalam hutan itu. Kedua thera tersebut menjadi bingung, dan meragukan kata-kata Ekudana. Tetapi Ekudana bersikeras bahwa para dewa biasanya datang dan selalu bertepuk tangan pada akhir setiap khotbah.

Kedua thera kemudian mendesak Ekudana untuk berkhotbah. Ekudana memegang kipas di hadapannya dan mengucapkan bait yang biasa diucapkannya. Setelah selesai mengucapkan bait itu, para dewa bertepuk tangan seperti biasa. Para Bhikkhu yang mengiringi kedua thera terpelajar itu menuduh bahwa para dewa yang berdiam dalam hutan itu sangat berat sebelah.

Mereka melaporkan masalah itu kepada Sang Buddha pada kunjungannya di Vihāra Jetavana. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Para Bhikkhu! Aku tidak mengatakan bahwa seorang Bhikkhu yang telah belajar banyak dan berbicara banyak tentang Dhamma adalah seseorang yang mengetahui Dhamma (Dhammadhara).

Seseorang yang belajar sangat sedikit dan hanya mengetahui satu bait dari Dhamma, tetapi memahami sepenuhnya ‘Empat Kesunyataan Mulia’ dan selalu sadar, adalah orang yang sesungguhnya mengetahui Dhamma.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 259 berikut:

Seseorang bukan "pendukung Dhamma" hanya karena ia banyak bicara.
Namun seseorang yang walaupun hanya belajar sedikit
tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya,
maka sesungguhnya ia adalah seorang "pendukung Dhamma".

 

Dhammapada 260 dan 261
Kisah Bhaddiya Thera

Suatu hari, tiga puluh Bhikkhu datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi ketiga puluh Bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian Arahat.

Beliau bertanya kepada mereka, apakah mereka telah melihat seorang thera saat memasuki ruangan. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang thera tetapi hanya melihat seorang samanera muda ketika mereka masuk.

Sang Buddha berkata, “Para Bhikkhu! Orang tersebut bukanlah samanera, ia adalah seorang Bhikkhu senior walaupun bentuk tubuhnya kecil dan sangat sederhana. Aku mengatakan bahwa seseorang tidak dapat disebut ‘thera’ hanya karena ia berusia tua dan tampak seperti seorang thera, hanya ia yang memahami ‘Empat Kesunyataan Mulia’ dan tidak menyakiti orang lain yang dapat disebut seorang ‘thera’.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 260 dan 261 berikut ini:

Seseorang tidak disebut Thera 
hanya karena rambutnya telah memutih.
Biarpun usianya sudah lanjut,
dapat saja ia disebut "orang tua yang tidak berguna"

Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan,
tidak kejam, terkendali dan terlatih,
pandai dan bebas dari noda-noda,
sesungguhnya ia patut disebut Thera.

Tiga puluh Bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 262 dan 263
Kisah Beberapa Bhikkhu

Pada sebuah vihāra, para Bhikkhu muda dan samanera mempunyai kebiasaan mengunjungi Bhikkhu-Bhikkhu lebih tua yang merupakan guru mereka. Mereka mencuci dan mencelup jubah, atau melakukan pelayanan kecil lain bagi guru mereka.

Beberapa Bhikkhu lain yang melihat hal ini merasa iri hati kepada para Bhikkhu senior, dan mereka memikirkan suatu rencana yang akan menguntungkan mereka secara material. Rencana mereka adalah mengusulkan kepada Sang Buddha agar para Bhikkhu muda dan samanera harus diminta datang kepada mereka untuk diberi perintah dan petunjuk lebih lanjut, walaupun mereka telah diajar oleh guru mereka masing-masing.

Sang Buddha, yang mengetahui sepenuhnya tujuan mereka, menolak usul itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Para Bhikkhu! Aku tidak mengatakan bahwa engkau baik hati hanya karena mampu berbicara dengan fasih. Hanya dia yang telah menyingkirkan sifat iri hati dan semua kejahatan dengan mencapai ‘Jalan Kesucian Arahat’ (Arahatta Magga) yang dapat disebut orang yang baik hati.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 262 dan 263 berikut ini:

Bukan hanya karena pandai bicara
dan bukan pula karena memiliki penampilan yang baik
seseorang dapat menyebut dirinya orang yang baik hati,
apabila ia masih bersifat iri, kikir, dan suka menipu.

Orang yang telah memotong,
mencabut, dan memutuskan akar sifat iri hati,
kekikiran, serta dusta;
maka orang bijaksana
yang telah menyingkirkan segala keburukan itulah
sesungguhnya dapat disebut orang yang baik hati.



Dhammapada 264 dan 265
Kisah Bhikkhu Hatthaka

Bhikkhu Hatthaka mempunyai kebiasaan menantang para petapa bukan pengikut Sang Buddha agar menjumpainya di suatu tempat tertentu untuk berdebat mengenai masalah-masalah keagamaan. Kemudian ia akan pergi seorang diri ke tempat yang telah dijanjikan. Jika tak seorang pun muncul, ia akan membual, “Lihat, petapa-petapa pengembara itu tidak berani menjumpaiku, mereka telah kukalahkan!”, dan hal-hal semacam lainnya.

Sang Buddha memanggil Hatthaka, dan berkata, “Bhikkhu! Mengapa engkau bertingkah laku demikian? Orang yang mengatakan hal-hal semacam itu tidak dapat menjadi seorang samana, meskipun kepalanya gundul. Hanya orang yang telah menyingkirkan semua kejahatan dari dirinya yang dapat disebut seorang samana.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 264 dan 265 berikut ini:

Seseorang yang tidak memiliki disiplin dan suka berdusta,
tidak dapat disebut seorang petapa (samana),
walaupun ia berkepala gundul.
Mana mungkin orang yang penuh dengan
keinginan serta keserakahan
dapat menjadi seorang samana?

Barang siapa dapat mengalahkan semua kejahatan,
baik yang kecil maupun yang besar, maka
ia patut disebut seorang samana
karena ia telah mengatasi semua kejahatan.
 


Dhammapada 266 dan 267
Kisah Seorang Brahmana

Suatu ketika, ada seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berkeliling menerima dana makanan. Suatu hari, ia berpikir, “Samana Gotama telah menyatakan bahwa orang yang hidup dengan cara menerima dana makanan adalah seorang Bhikkhu. Dengan demikian, saya juga dapat disebut sebagai seorang Bhikkhu.” Dengan berpikir seperti itu, ia menghadap Sang Buddha, dan berkata bahwa ia (brahmana itu) dapat juga disebut seorang Bhikkhu, karena ia juga pergi menerima dana makanan.

Kepadanya, Sang Buddha berkata, “Brahmana, Aku tidak berkata bahwa engkau seorang Bhikkhu hanya karena engkau pergi mengumpulkan dana makanan. Orang yang menganut kepercayaan yang salah dan bertindak sesuai dengan hal itu tidak dapat disebut sebagai seorang Bhikkhu. Hanya orang yang melaksanakan perenungan tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan keadaan tanpa inti dari gabungan unsur-unsur itulah yang dapat disebut seorang Bhikkhu.”

Kemudian sang Buddha membabarkan syair 266 dan 267 berikut ini:

Seseorang tidak dapat disebut Bhikkhu
hanya karena ia mengumpulkan dana makanan dari orang lain.
Selama ia masih bertingkah laku
seperti seorang perumah tangga dan tidak menaati peraturan,
maka ia belum pantas disebut Bhikkhu.

Dalam hal ini, seseorang yang telah mengatasi kebaikan dan kejahatan,
yang menjalankan kehidupan suci
dan melaksanakan perenungan
tentang kelompok-kelompok gugusan kehidupan,
maka sesungguhnya ia dapat disebut seorang Bhikkhu.

 

Dhammapada 268 dan 269
Kisah Para Petapa bukan Pengikut Sang Buddha

Terhadap orang yang mempersembahkan makanan atau benda-benda lain kepada para petapa, mereka akan mengucapkan kata-kata pemberkahan. Mereka akan berkata, “Semoga engkau bebas dari bahaya, semoga engkau menjadi makmur dan kaya, semoga engkau panjang umur,” dan sebagainya. Pada waktu itu, para Bhikkhu murid Sang Buddha tidak mengucapkan apa pun setelah menerima sesuatu persembahan dari murid awam mereka.

Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para Bhikkhu tetap berdiam diri, sedangkan para petapa bukan pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal yang menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai membandingkan kedua kelompok tersebut.

Ketika Sang Buddha mendengarkan itu, Beliau mengizinkan para Bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan kepada murid-murid mereka setelah menerima persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana makanan.

Kemudian para petapa dari ajaran lain berkata dengan menghina, “Kami taat pada praktik pertapaan dan berdiam diri, tetapi pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di tempat makan.” Mendengar kata-kata yang merendahkan itu Sang Buddha berkata, ” Para Bhikkhu! Ada orang yang tetap berdiam karena mereka bodoh dan takut, dan ada yang tetap berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak menjadi seorang petapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya orang yang telah mengatasi kejahatan yang dapat disebut seorang petapa.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 268 dan 269 berikut ini:

Tidak hanya karena berdiam diri seorang menjadi orang suci (muni),
apabila ia dungu dan bodoh.
Bagaikan memegang sepasang neraca,
orang bijaksana melaksanakan sesuatu yang baik
dan menghindari yang jahat.

Karena seseorang dapat memilih apa yang baik
dan menghindari apa yang buruk,
maka ia disebut sebagai orang suci.
Demikianlah, ia yang telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani), patut disebut orang suci.



Dhammapada 270
Kisah Seorang Nelayan Bernama Ariya

Suatu ketika, ada seorang nelayan yang tinggal di dekat gerbang utara Kota Sāvatthī. Suatu hari, melalui kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha melihat bahwa telah tiba saatnya bagi nelayan itu untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpatti.

Maka dalam perjalanan pulang dari ber-pindapatta, Sang Buddha bersama dengan para Bhikkhu berhenti di dekat tempat Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan itu melihat Sang Buddha, ia melemparkan alat penangkap ikannya, kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Sang Buddha mulai menanyakan nama-nama para Bhikkhu di hadapan si nelayan, dan akhirnya, Beliau menanyakan nama nelayan itu.

Ketika si nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata, bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makhluk hidup apa pun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan maka ia tidak layak menyandang nama Ariya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 270 berikut:

Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia)
apabila masih menyiksa makhluk hidup.
Ia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.

Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 271 dan 272
Kisah Beberapa Bhikkhu

Suatu ketika, ada beberapa Bhikkhu yang memiliki kebajikan, beberapa di antara mereka dengan ketat menjalankan latihan-latihan keras (dhutanga), beberapa orang mempunyai pengetahuan yang luas tentang Dhamma, beberapa orang telah mencapai pencerapan mental (jhana). Beberapa orang telah mencapai tingkat kesucian Anagami, dan lain-lain. Mereka semua berpikir bahwa mereka telah mencapai banyak hal, akan cukup mudah bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Dengan pikiran seperti ini mereka pergi menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha bertanya kepada mereka, “Para Bhikkhu, sudahkah engkau mencapai tingkat kesucian Arahat?” Mereka menjawab bahwa mereka berada dalam keadaan sedemikian sehingga tidak akan sulit bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian Arahat sewaktu-waktu.

Kepada mereka, Buddha berkata, “Para Bhikkhu! Hanya karena engkau telah memiliki moralitas (sīla), hanya karena engkau telah mencapai tingkat kesucian Anagami, engkau tidak boleh puas dan berpikir bahwa hanya tinggal sedikit lagi yang harus dikerjakan, kecuali jika engkau telah menghapuskan semua kekotoran batin (asava). Engkau tidak boleh berpikir bahwa engkau telah mencapai kebahagiaan sempurna tingkat kesucian Arahat!

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 271 dan 272 berikut ini:

Bukan hanya karena sīla dan tekad,
bukan pula karena banyak belajar
ataupun karena telah mencapai perkembangan dalam samadhi,
atau juga karena berdiam diri di tempat yang sepi;

Lalu berpikir, "Aku telah menikmati kebahagiaan
dari pelepasan yang tidak dapat dicapai oleh orang duniawi."
O para Bhikkhu, janganlah engkau merasa puas
sebelum mencapai penghancuran semua kekotoran batin.

Semua Bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


abcs