Yang warna merah adalah koleksi yang sudah dilakukan saat pemeriksaan ilustrasi Dhammapada.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Tidak pada zaman dahulu,
waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang,
dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela
maupun yang selalu dipuji.
Setelah memperhatikan secara saksama,
orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela,
pandai, serta memiliki kebijaksanaan dan sīla.
Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela
seperti sepotong emas murni?
Para dewa akan selalu memujinya,
begitu pula para brahmana.
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapan,
hendaklah ia mengendalikan ucapannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan pikiran,
hendaklah ia mengendalikan pikirannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui pikiran,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran.
Para bijaksana terkendali perbuatan, ucapan, dan pikirannya.
Dhammapada 221
Kisah Putri Rohini
Pada suatu saat Anuruddha Thera mengunjungi Kapilavatthu. Saat Anuruddha
berdiam di vihāra, semua anggota keluarganya, kecuali Rohini datang berkunjung.
Saat mengetahui bahwa ketidakhadiran Rohini disebabkan ia menderita kusta,
Anuruddha Thera menyuruh salah satu anggota keluarganya untuk memanggilnya.
Dengan menutupi kepalanya karena malu, Rohini pun datang. Anuruddha Thera
menyarankan agar ia melakukan perbuatan baik. Beliau menganjurkan agar Rohini
menjual beberapa pakaian dan perhiasannya, uang hasil penjualan tersebut dapat
dipergunakan untuk membangun sebuah kuti bagi para Bhikkhu. Rohini setuju
dengan apa yang dinasihatkan kepadanya. Anuruddha Thera juga meminta anggota
keluarganya yang lain untuk membantu pembangunan tersebut. Selanjutnya
Anuruddha Thera meminta Rohini untuk menyapu lantai dan mengisi tempat air
setiap hari, meskipun pembangunan kuti sedang berlangsung. Rohini melakukan
semua yang dianjurkan dan kesehatannya pun semakin membaik.
Saat bangunan kuti itu selesai dibangun, Sang Buddha dan para Bhikkhu diundang
untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha bertanya siapa yang
berdana kuti dan makanan tersebut. Namun saat itu Rohini tidak hadir, maka Sang
Buddha meminta agar Rohini dipanggil dan ia pun datang.
Sang Buddha bertanya apakah Rohini tahu mengapa ia menderita penyakit yang
mengerikan itu. Rohini menjawab bahwa ia tidak mengetahuinya. Kemudian Sang
Buddha menjelaskan bahwa Rohini menderita penyakit kusta karena perbuatan jahat
yang pernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau, perbuatan yang diliputi
rasa dengki dan marah.
Sang Buddha bercerita, bahwa dulu Rohini adalah permaisuri Raja Banarasi. Raja
Banarasi memiliki seorang penari yang ia kagumi dan hal ini membuat permaisuri
cemburu. Karenanya, permaisuri bermaksud menghukum penari itu. Suatu hari
permaisuri menyuruh para pelayannya untuk menaburkan serbuk gatal yang terbuat
dari kotoran sapi pada tempat tidur dan selimut milik penari itu. Kemudian
mereka memanggil penari tersebut dan dengan tiba-tiba mereka menebarkan bubuk
gatal itu ke tubuhnya. Rasa gatal menyerang seketika dan penari itu menjadi
sangat menderita. Saat rasa gatal itu semakin tak tertahankan, ia berlari ke
kamar dan menjatuhkan diri jatuh di ranjang. Ia pun semakin menderita.
Akibat dari perbuatan jahat itu, Rohini menderita kusta pada kehidupannya
sekarang. Sang Buddha menasihati semua orang yang hadir agar menghindari
perbuatan bodoh karena marah, dan menghindari perbuatan mencelakakan orang
lain.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 221 berikut:
Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan kesombongan,
hendaklah ia mengatasi semua belenggu.
Orang yang tidak lagi terikat pada batin dan jasmani,
yang telah bebas dari nafsu-nafsu,
tak akan menderita lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, banyak orang yang hadir mencapai tingkat
kesucian Sotāpatti. Demikian pula dengan Putri Rohini, ia juga mencapai tingkat
kesucian Sotāpatti, dan seketika itu pula penyakit kulit yang mengerikan itu
lenyap dan kulitnya berubah menjadi bersih, halus, dan menarik.
Dhammapada 222
Kisah Seorang Bhikkhu
Suatu ketika, seorang Bhikkhu dari Alavi hendak membangun sebuah vihāra untuk
dirinya sendiri, dan ia pun mulai menebang sebatang pohon. Dewa yang mendiami
pohon tersebut (Rukkha Deva), mencoba untuk mencegahnya dengan alasan bahwa ia
dan bayinya tak tahu ke mana lagi harus tinggal. Gagal menghentikan perbuatan
sang Bhikkhu, kemudian dewa itu meletakkan anaknya pada sebuah dahan, berharap
itu akan membuat sang Bhikkhu berhenti menebang. Namun, Bhikkhu tersebut
telanjur mengayunkan kapaknya, ia tidak dapat menghentikannya seketika, dan
tanpa sengaja memotong lengan anak tersebut. Melihat bayinya terluka, sang ibu
menjadi marah dan bermaksud membunuh Bhikkhu tersebut. Ketika ia mulai
mengangkat kedua tangannya untuk menyerang, tiba-tiba ia berhenti dan berpikir,
“Bila aku membunuh seorang Bhikkhu, berarti aku membunuh seseorang yang
menjalankan peraturan moral (sīla). Hal ini akan membuat aku menderita di alam
neraka (niraya). Dewa pohon lainnya akan meniru apa yang kuperbuat, dan semakin
banyak Bhikkhu akan terbunuh. Bhikkhu ini pasti memiliki guru, aku harus
menemui gurunya.”
Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha. Sambil menangis ia menceritakan semua
yang telah menimpanya. Kepadanya, Sang Buddha berkata, “O Rukkha Deva, kau
telah berhasil baik mengendalikan dirimu sendiri.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 222 berikut:
Barang siapa yang dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak
seperti menahan kereta yang sedang melaju,
ia patut disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya
hanya sebagai pemegang kendali belaka.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Rukkha Deva mencapai tingkat kesucian
Sotāpatti dan ia pun diperbolehkan mendiami sebatang pohon di dekat kamar harum
(Gandha Kuti) Sang Buddha. Semenjak kejadian itu, Sang Buddha melarang para
Bhikkhu menebangi tumbuh-tumbuhan seperti rumput, tanaman, semak belukar, dan
pepohonan.
Dhammapada 223
Kisah Uttara, Seorang Umat Awam
Uttara adalah putri dari Punna, seorang buruh tani yang bekerja pada pria kaya
bernama Sumana di Rājagaha. Suatu hari, Punna dan istrinya berdana makanan
kepada Sāriputta Thera di saat Beliau baru saja mencapai keadaan pencerapan
mental yang dalam (nirodha sampatti). Sebagai akibat dari perbuatan baik itu,
mereka mendadak menjadi kaya. Punna menemukan emas di tanah yang ia bajak, dan
secara resmi raja menyatakan Punna sebagai seorang bankir yang besar.
Pada suatu kesempatan, Punna sekeluarga berdana makanan kepada Sang Buddha dan
para Bhikkhu selama tujuh hari, dan pada hari ketujuh, setelah mendengarkan
khotbah Sang Buddha, mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian Sotāpatti.
Kemudian Uttara, putri Punna menikah dengan anak Sumana. Keluarga Sumana bukan
keluarga Buddhis, sehingga Uttara tidak merasa bahagia di rumah suaminya. Ia
pun bercerita kepada ayahnya, Punna, “Ayah, mengapa ayah mengurung saya di
kandang ini? Di sini saya tidak melihat para Bhikkhu dan saya tidak memiliki
kesempatan berdana kepada para Bhikkhu.”
Punna menjadi menyesal dan ia segera memberi uang sebesar 15.000 kepada Uttara.
Setelah mendapat izin dari suaminya, Uttara menggunakan uangnya untuk menyewa
seorang wanita untuk menggantikan dirinya memenuhi kebutuhan suaminya. Akhirnya
ditetapkan bahwa Sirima, seorang pelacur yang sangat cantik dan terkenal,
menggantikannya sebagai seorang istri selama 15 hari.
Selama waktu itu, Uttara memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para
Bhikkhu. Pada hari kelima belas, saat ia sibuk menyiapkan makanan di dapur,
suaminya melihat dari balik jendela kamar dan tersenyum seraya bergumam pada
dirinya sendiri, “Betapa bodohnya ia. Dia tak tahu cara bersenang-senang. Dia
selalu menyibukkan diri dengan upacara pemberian dana.”
Sirima melihat suami Uttara tersenyum pada Uttara, ia menjadi sangat cemburu
pada Uttara, ia lupa bahwa dirinya hanya sebagai istri pengganti yang dibayar.
Menjadi tak terkendali, segera Sirima pergi ke dapur dan mengambil sesendok
besar mentega panas dengan maksud mengguyurkannya ke kepala Uttara. Uttara
melihatnya datang, namun ia tidak memiliki maksud buruk pada Sirima. Ia
menyadari, berkat Sirima-lah ia dapat mendengarkan Dhamma, berdana makanan, dan
berbuat kebaikan lainnya, sehingga ia merasa berterima kasih pada Sirima.
Tiba-tiba ia menyadari bahwa Sirima datang mendekat dan hendak menuangkan
mentega panas ke arahnya, ia pun berseru, “Bila aku memiliki maksud buruk
terhadap Sirima, biarlah mentega panas ini melukaiku, tapi bila aku tidak
memiliki maksud buruk padanya, mentega panas ini tak akan melukaiku.”
Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhadap Sirima, mentega panas yang
dituang di kepalanya hanya terasa bagai air dingin. Sirima berpikir pasti
mentega itu telah menjadi dingin saat dituangkan, maka ia bermaksud mengambil
mentega panas yang lain. Saat hendak menuangkan mentega panas tersebut,
pelayan-pelayan Uttara menyerang dan memukulnya. Uttara menghentikan para
pelayannya dan menyuruh mereka mengobati luka Sirima dengan balsam.
Akhirnya Sirima teringat akan kedudukannya yang sebenarnya, dan ia menyesal
telah melakukan kesalahan terhadap Uttara, dan meminta Uttara mengampuninya.
Uttara pun menjawab, “Aku memiliki seorang ayah. Aku harus bertanya, apakah aku
harus menerima permintaan maafmu.” Sirima berkata bahwa ia siap pergi memohon
pengampunan pada Punna, ayah Uttara.
Uttara menjelaskan padanya, “Sirima, saat aku mengatakan ‘ayahku’, maksud saya
bukan ayahku yang sebenarnya, yang membawaku pada rantai kelahiran kembali ini.
Yang kumaksud ‘ayahku’ adalah Sang Buddha, yang telah menolongku memotong
rantai kelahiran kembali, yang telah mengajariku Dhamma, kebenaran sejati.”
Sirima pun memohon untuk bertemu dengan Sang Buddha. Sehingga pada hari
berikutnya direncanakan Sirima akan menyerahkan dana makanan kepada Sang Buddha
dan para Bhikkhu.
Setelah bersantap, Sang Buddha diberitahu perihal Sirima dan Uttara. Kemudian
Sirima mengakui bahwa ia telah berbuat kesalahan terhadap Uttara dan memohon
Sang Buddha, apakah ia dapat dimaafkan, karena jika tidak, Uttara tidak akan
memaafkannya. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Uttara bagaimana perasaannya
saat Sirima menyiramkan mentega panas ke arahnya.
Uttara pun menjawab, “Bhante, karena saya telah berutang budi pada Sirima, saya
tetap tidak naik darah, tidak memiliki maksud buruk padanya. Saya selalu
memancarkan cinta saya kepadanya.”
Lalu Sang Buddha berkata “Bagus, bagus, Uttara! Dengan tidak memiliki maksud
jahat, kau telah mengatasi mereka yang berbuat kesalahan kepadamu. Dengan tidak
melukai, kau dapat mengatasi mereka yang melukaimu. Dengan bermurah hati kau
dapat mengatasi orang kikir, dengan berbicara benar kau dapat mengatasi mereka
yang berbohong.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 223 berikut:
Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih
dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan.
Kalahkan kekikiran dengan kemurahan hati,
dan kalahkan kebohongan dengan kejujuran.
Sirima dan lima ratus wanita mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
Dhammapada 224
Kisah Pertanyaan Mahāmoggallāna Thera
Ketika itu, Mahāmoggallāna Thera mengunjungi alam surga dan menjumpai banyak
dewa yang tinggal di tempat mewah. Beliau bertanya kepada mereka, perbuatan
baik apa yang menyebabkan mereka terlahir di alam surga, dan mereka pun
memberikan jawaban yang berbeda-beda. Dewa yang satu mengatakan ia terlahir di
alam surga bukan karena ia banyak berdana atau sering mendengarkan Dhamma,
tetapi hanya karena ia selalu berbicara benar. Dewa kedua adalah dewa wanita
yang terlahir di alam surga karena ia tidak pernah marah pada tuannya dan tidak
memiliki maksud buruk padanya, meskipun tuannya sering memukul dan menyiksanya.
Dengan meredam kemarahan dan menghindari kebencian, ia terlahir di alam surga.
Selanjutnya, ada yang terlahir di alam surga karena sedikit berdana seperti
mendanakan gula tebu, buah, atau beberapa sayuran kepada seorang Bhikkhu atau
pada orang lain.
Setelah kembali dari alam surga, Mahāmoggallāna Thera bertanya kepada Sang
Buddha, apakah mungkin meraih banyak keuntungan hanya dengan bicara benar, atau
mengendalikan perbuatan, atau dengan memberikan sedikit barang seperti buah dan
sayuran.
Sang Buddha menjawab, “Anak-Ku, mengapa bertanya hal itu? Apakah Kamu tidak
melihat dan mendengar sendiri apa yang dewa-dewa itu katakan? Seharusnya Engkau
tidak meragukannya. Sedikit perbuatan baik pasti akan membawa seseorang
terlahir di alam surga.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 224 berikut:
Hendaknya orang berbicara benar,
hendaknya orang tidak marah,
hendaknya orang memberi walaupun sedikit
kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan tiga cara ini,
orang dapat pergi ke antara para dewa.
Dhammapada 225
Kisah Seorang Brahmana yang Mengaku Sebagai
“Ayah Sang Buddha”
Suatu saat Sang Buddha bersama beberapa Bhikkhu memasuki Kota Saketa untuk
ber-pindapatta. Seorang brahmana tua melihat Sang Buddha, mendekati-Nya, lalu
berseru, “O Nak! Mengapa Engkau tidak mengizinkan kami melihat-Mu selama ini?
Ikutlah bersamaku dan biarlah ibu-Mu juga melihat-Mu.” Setelah berkata demikian,
ia mengundang Sang Buddha ke rumahnya. Sampai di rumahnya, istri brahmana pun
mengatakan hal yang sama dan memperkenalkan Sang Buddha sebagai ‘kakak tertua’
kepada anak-anaknya dan menyuruh mereka memberi hormat kepada-Nya. Sejak hari
itu, suami istri tersebut memberikan dana makanan kepada Sang Buddha setiap
hari dan setelah mendengarkan beberapa khotbah Dhamma, suami istri itu mencapai
tingkat kesucian Anagami.
Para Bhikkhu heran, mengapa pasangan brahmana itu mengatakan bahwa Sang Buddha
adalah putra mereka, mereka pun bertanya kepada Sang Buddha. Kemudian Sang
Buddha menjelaskan, “Para Bhikkhu, mereka memanggil-Ku ‘Nak’ karena Aku adalah
anak atau kemenakan dari salah satu di antara mereka selama 1.500 kali
kelahiran yang lampau.” Sang Buddha terus tinggal di dekat rumah pasangan
brahmana sampai tiga bulan lebih, dan selama itu, baik brahmana maupun istrinya
mencapai tingkat kesucian Arahat, kemudian merealisasi ‘Kebebasan Akhir’
(parinibbāna).
Para Bhikkhu tidak mengetahui bahwa pasangan brahmana itu telah mencapai
tingkat kesucian Arahat, mereka bertanya kepada Sang Buddha, di mana pasangan
itu akan terlahir kembali. Sang Buddha menjawab, “Mereka yang telah mencapai
tingkat kesucian Arahat, tidak akan terlahir kembali di mana pun juga, mereka telah
merealisasi ‘Kebebasan Mutlak’ (Nibbāna).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 225 berikut:
Orang-orang suci yang tidak menganiaya makhluk lain
dan selalu terkendali jasmaninya,
akan sampai pada "Keadaan Tanpa Kematian"(Nibbāna);
dan setelah sampai pada keadaan itu,
kesedihan tak akan ada lagi dalam dirinya.
Dhammapada 226
Kisah Punna, Seorang Budak Wanita
Suatu malam, Punna, seorang budak wanita, sedang menumbuk padi untuk tuannya.
Karena lelah, ia beristirahat sejenak. Saat beristirahat, ia melihat Dabba
Thera memimpin beberapa Bhikkhu berjalan menuju vihāra, setelah mereka
mendengarkan Dhamma. Gadis itu melihat mereka masih terjaga, ia pun merenung,
“Aku masih terjaga hingga larut malam karena aku seorang yang miskin dan harus
bekerja keras. Tapi mengapa orang-orang baik ini masih terjaga pada malam
selarut ini? Mungkinkah ada Bhikkhu yang sakit, ataukah mereka diganggu seekor
ular?”
Keesokan paginya, Punna mengambil sedikit beras hancur, merendamnya dalam air
dan mengolahnya menjadi roti. Kemudian dengan maksud memakannya di tepi sungai,
ia membawa roti kasar dan sederhana itu.
Pada saat itu, ia melihat Sang Buddha datang dan sedang ber-pindapatta. Ia
bermaksud mendanakan roti itu pada Sang Buddha, tapi ia tak yakin apakah Sang
Buddha berkenan memakan roti murah yang kasar itu. Sang Buddha mengetahui apa
yang dipikirkan gadis tersebut. Beliau menerima rotinya dan menyuruh Ananda
Thera untuk menggelar tikar kecil di tanah. Sang Buddha duduk di atas tikar dan
memakan roti yang diberikan oleh budak wanita itu.
Setelah bersantap, Sang Buddha memanggil Punna dan menjawab pertanyaan semalam
yang membuatnya bingung. “Punna, kau tidak dapat pergi tidur karena kau miskin
dan harus bekerja keras. Begitu pula dengan anak-anak-Ku, para Bhikkhu, mereka
tidak tidur karena mereka harus selalu waspada dan sadar.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 226 berikut:
Mereka yang senantiasa sadar,
tekun melatih diri siang dan malam,
selalu mengarahkan batin ke Nibbāna,
maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah.
Punna mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Dhammapada 227, 228, 229, dan 230
Kisah Atula, Seorang Umat Awam
Suatu saat, Atula bersama dengan 500 orang temannya, mengunjungi Revata Thera,
dengan harapan dapat mendengarkan Dhamma. Revata Thera yang pendiam seperti
seekor singa, tidak mengatakan apa pun pada mereka. Atula dan teman-temannya
sangat tidak puas dan kemudian pergi menghadap Sāriputta Thera. Saat Sāriputta
Thera mengetahui mengapa mereka datang, Beliau menjelaskan Abhidhamma secara
mendalam. Apa yang dijelaskan Sāriputta Thera juga bukanlah yang mereka
harapkan, dan mereka mengeluh bahwa uraian Sāriputta Thera panjang dan terlalu
mendalam.
Kemudian Atula dan rombongannya mendekati Ananda Thera. Ananda Thera
menjelaskan pada mereka sedikit tentang inti dari ajaran Dhamma. Kali ini,
mereka menilai bahwa penjelasan Ananda Thera terlalu singkat dan kurang
lengkap.
Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, “Bhante, kami
datang untuk mendengarkan ajaran-Mu. Kami telah menemui beberapa guru sebelum
kami datang ke sini, tapi kami tidak puas. Revata Thera tidak berkenan mengajar
kami dan hanya berdiam diri. Penjelasan Sāriputta Thera terlalu mendalam, dan
Dhamma yang diajarkan terlalu sukar. Begitu pula Ananda Thera, Beliau
menjelaskan terlalu singkat dan kurang lengkap. Kami tidak menyukai apa yang
Mereka ajarkan.”
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Murid-murid-Ku, mencela orang lain
bukanlah hal yang baru. Tak satu pun orang di dunia ini yang tak pernah dicela,
orang-orang akan mencela meskipun seorang raja atau bahkan seorang Buddha.
Dicela atau dipuji oleh orang bodoh, tidaklah berarti. Seseorang akan
benar-benar tercela hanya bila ia dicela oleh orang bijaksana, dan benar-benar
terpuji hanya bila dipuji oleh orang bijaksana.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 227, 228, 229, dan 230 berikut ini:
O Atula, hal ini telah ada sejak dahulu
dan bukan saja ada sekarang,
di mana mereka mencela orang yang duduk diam,
mereka mencela orang yang banyak bicara,
mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.
Tak ada seorang pun di dunia ini
yang tak dicela.
waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang,
dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela
maupun yang selalu dipuji.
Setelah memperhatikan secara saksama,
orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela,
pandai, serta memiliki kebijaksanaan dan sīla.
Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela
seperti sepotong emas murni?
Para dewa akan selalu memujinya,
begitu pula para brahmana.
Atula dan teman-temannya mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah
Dhamma itu berakhir.
Dhammapada
231, 232, 233, dan 234
Kisah Enam Bhikkhu
Enam Bhikkhu dengan mengenakan sandal kayu, serta masing-masing memegang
tongkat pada kedua tangannya, berjalan mondar-mandir pada sebuah batu yang
besar, sehingga menimbulkan suara keras. Sang Buddha mendengar suara ribut itu
dan bertanya kepada Ananda Thera, apa yang terjadi. Ananda Thera menjelaskan
perihal perilaku enam Bhikkhu tersebut. Kemudian Sang Buddha melarang para
Bhikkhu untuk menggunakan sandal kayu. Selanjutnya Beliau menganjurkan para
Bhikkhu agar mengendalikan diri mereka, baik dalam ucapan maupun perbuatannya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 231, 232, 233, dan 234 berikut ini:
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan jasmani,
hendaklah ia selalu mengendalikan jasmaninya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui jasmani,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui jasmani.
hendaklah ia mengendalikan ucapannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan pikiran,
hendaklah ia mengendalikan pikirannya.
Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui pikiran,
hendaklah ia giat melakukan
perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran.
Para bijaksana terkendali perbuatan, ucapan, dan pikirannya.
Sesungguhnya mereka itu benar-benar telah dapat menguasai diri.
Posting Komentar