1 Buku ke-4: Dhammapada XVI. PIYA VAGGA - Kecintaan (209-220)

Yang warna merah adalah koleksi yang sudah dilakukan saat pemeriksaan ilustrasi Dhammapada.


Dhammapada 209, 210, dan 211 
Kisah Tiga Petapa 

Suatu ketika terjadi di Sāvatthī, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang Bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi Bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang Bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lain dan jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihāra seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat Bhikkhu-Bhikkhu lain merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha, lalu Sang Buddha memanggil mereka. 

Sang Buddha berkata, “Sekali kamu telah bergabung dalam persamuhan Saṅgha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang kaucinta dan melihat mereka yang tidak kaucinta, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai.” Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut:

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut:

Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan;
melepaskan apa yang baik dan melekat pada apa yang tidak baik,
akan merasa iri terhadap mereka yang tekun dalam latihan.

Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai
dan bertemu dengan mereka yang tidak disukai,
keduanya merupakan penderitaan.

Oleh sebab itu janganlah melekat pada apa pun,
karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan.
Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas
dari mencintai dan tidak mencintai.



Dhammapada 212
Kisah Seorang Perumah Tangga Kaya

Suatu saat, seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas kematian putranya. Dia sering ke makam dan menangis di sana. Suatu pagi, Sang Buddha melihat perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan-Nya. Lalu Sang Buddha bersama seorang Bhikkhu pergi ke rumah perumah tangga kaya tersebut.

Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut mengapa dia merasa sangat tidak bahagia. Lelaki tersebut menjelaskan tentang kematian putranya, dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya. Kepadanya, Sang Buddha berkata, “Murid-Ku, kematian tidak hanya terjadi di satu tempat. Semua makhluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari, sesungguhnya kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian. Janganlah kau anggap hanya putra tersayangmu saja yang mengalami kematian. Jangan terlalu sedih ataupun terlalu goncang. Dukacita dan ketakutan timbul dari rasa sayang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 212 berikut:

Dari yang disayangi timbul kesedihan,
dari yang disayangi timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


Perumah tangga kaya mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Dhammapada 213
Kisah Visakha

Suatu hari, seorang cucu Visakha yang bernama Sudatta meninggal dunia, Visakha merasa sangat kehilangan dan bersedih atas kematian cucunya. Maka dia pergi menghadap Sang Buddha.

Ketika Sang Buddha melihatnya, Beliau berkata, “Visakha, tidakkah kamu menyadari bahwa banyak orang meninggal dunia di Sāvatthī setiap hari? Jika kamu memperhatikan mereka semua seperti kamu memperhatikan cucumu, kamu pasti akan menangis dan berkabung tidak henti-hentinya. Jangan biarkan kematian seorang anak memengaruhi kamu secara berlebihan. Kesedihan dan ketakutan timbul dari kecintaan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 213 berikut:

Dari cinta timbul kesedihan,
dari cinta timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari rasa cinta,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.



Dhammapada 214
Kisah Pangeran-Pangeran Licchavi

Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki Kota Vesali ditemani oleh serombongan Bhikkhu. Di perjalanan, mereka bertemu beberapa pangeran Licchavi yang mengenakan pakaian bagus. Sang Buddha melihat mereka penuh dengan tanda-tanda kebesaran, berkata kepada para Bhikkhu, “Para Bhikkhu, siapa saja yang tidak pernah ke alam Dewa Tavatimsa seharusnya melihat pangeran-pangeran Licchavi ini.”

Pangeran-pangeran itu menuju ke taman yang indah. Di sana mereka bertengkar perihal seorang pelacur dan pertengkaran itu menjadi perkelahian. Sebagai hasilnya beberapa dari mereka berdarah dan dibawa pulang. Ketika Sang Buddha bersama para Bhikkhu berjalan pulang setelah bersantap di kota, mereka melihat pangeran yang luka-luka dibawa pulang ke rumahnya.

Berkaitan dengan kejadian tersebut para Bhikkhu berkata, “Demi seorang wanita, pangeran-pangeran Licchavi ini bertengkar.” Kepada mereka, Sang Buddha menjelaskan, “Para Bhikkhu, penderitaan dan ketakutan timbul dari kesenangan duniawi dan kemelekatan terhadapnya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 214 berikut:

Dari kemelekatan timbul kesedihan,
dari kemelekatan timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


  

Dhammapada 215
Kisah Anitthigandha Kumara

Anitthigandha tinggal di Sāvatthī. Dia akan menikah dengan seorang wanita muda cantik dari Kota Sagala, negara Maddas. Pengantin wanita datang dari kotanya ke Sāvatthī, dia jatuh sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan. Ketika pengantin pria mendengar kabar tentang kematian pengantin wanitanya, dia menjadi putus asa.

Dalam keadaan ini, Sang Buddha mengetahui bahwa waktunya sudah matang bagi pemuda itu untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpatti. Sang Buddha menuju ke rumah pemuda tersebut. Orangtua pemuda itu memberi dana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta orangtua pemuda itu untuk membawa anaknya menghadap Beliau.

Ketika pemuda itu tiba, Sang Buddha bertanya mengapa dia sedih dan putus asa. Pemuda itu menjelaskan seluruh kejadian tragis kematian pengantin wanitanya. Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “O Anittthigandha! Dari nafsu timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi, kesedihan serta ketakutan muncul.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 215 berikut:

Dari nafsu timbul kesedihan,
dari nafsu timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari nafsu,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


Anitthigandha mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 216
Kisah Seorang Brahmana

Ada seorang brahmana tinggal di Sāvatthī, dan dia bukan seorang Buddhis. Tetapi Sang Buddha mengetahui bahwa brahmana akan mencapai tingkat kesucian Sotāpatti dalam waktu dekat. Maka Sang Buddha pergi ke tempat brahmana membajak ladangnya dan mengajaknya berbicara. Brahmana menjadi sahabat dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah berkenalan dengannya dan memperhatikan pekerjaannya di ladang.

Suatu hari dia berkata kepada Sang Buddha, “Samana Gotama, bila nanti saya menuai padi dari ladang ini, pertama sekali saya akan memberikan sebagian hasil panen ini kepada-Mu sebelum saya mengambilnya. Saya tidak akan memakan beras saya sebelum saya memberikan kepada-Mu.” Sang Buddha mengetahui bahwa brahmana itu tidak mempunyai kesempatan untuk memanen padi dari ladangnya tahun ini, tetapi Beliau berdiam diri.

Kemudian pada malam sebelum si brahmana memanen padinya, turun hujan lebat menyapu semua tanaman padinya. Sang brahmana sangat sedih karena dia tidak mungkin memberikan sebagian hasil panen kepada temannya, Samana Gotama.

Sang Buddha pergi ke rumah brahmana dan sang brahmana memberitahukan tentang bencana besar yang menimpanya. Sang Buddha menjawab, “Brahmana, kamu tidak mengetahui sebab penderitaan, tetapi Saya mengetahui. Jika kesedihan dan ketakutan muncul, hal-hal itu disebabkan oleh keinginan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 216 berikut:

Dari keserakahan timbul kesedihan,
dari 
keserakahan timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari 
keserakahan,
tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.


Brahmana mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 217
Kisah Lima Ratus Anak Laki-Laki

Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki Kota Rājagaha untuk ber-pindapatta dengan ditemani oleh sejumlah Bhikkhu. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan lima ratus anak laki-laki yang sedang berjalan menuju ke suatu taman yang indah. Anak-anak itu membawa beberapa keranjang kue pancake tetapi mereka tidak memberikan satu pun kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu. Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu, “Para Bhikkhu, kamu akan memakan pancake itu hari ini, pemiliknya akan datang mendekati Kita. Kita akan mendapatkannya hanya setelah ada yang mengambil beberapa pancake.” Setelah mengatakan hal itu, Sang Buddha dan para Bhikkhu berteduh di bawah pohon.

Pada waktu itu Kassapa Thera datang ke sana sendirian. Anak-anak itu melihatnya dan kemudian menghormati Kassapa Thera, serta mendanakan pancake mereka kepada sang thera.

Kassapa Thera kemudian berkata kepada anak-anak itu, “Guru-Ku Yang Mulia beristirahat di sana, di bawah pohon ditemani oleh beberapa Bhikkhu. Pergi dan danakan pancake kalian kepada-Nya dan beberapa Bhikkhu.”

Anak-anak itu melakukan apa yang dikatakan Kassapa Thera. Sang Buddha menerima dana pancake itu. Kemudian, para Bhikkhu berkata bahwa anak-anak itu sangat menyukai Kassapa Thera.

Sang Buddha berkata kepada mereka, “Para Bhikkhu, semua Bhikkhu yang seperti anak-Ku Kassapa disukai oleh para dewa dan manusia. Beberapa Bhikkhu selalu menerima cukup pemberian empat kebutuhan Bhikkhu.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 217 berikut:

Barang siapa sempurna dalam sīla
dan mempunyai pandangan terang,
teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar
dan memenuhi segala kewajibannya,
maka semua orang akan mencintainya.


Lima ratus anak laki-laki mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



Dhammapada 218
Kisah Seorang Thera Anagami

Suatu saat murid-murid dari seorang thera bertanya kepadanya, apakah dia telah mencapai tingkat ‘Jalan Kesucian’ (magga), tetapi sang thera tidak berkata apa-apa meskipun dia telah mencapai ‘Jalan Kesucian Anagami’ (Anagami Magga), magga ketiga. Dia berdiam diri karena dia memutuskan untuk tidak membicarakan tentang pencapaiannya hingga dia mencapai tingkat kesucian Arahat. Tetapi sang thera meninggal dunia sebelum mencapai tingkat kesucian Arahat, dan juga tidak berkata sesuatu pun tentang pencapaian Anagami Magga-nya.

Murid-muridnya berpikir guru mereka meninggal dunia tanpa mencapai tingkat magga dan mereka merasa menyesalinya. Mereka pergi menghadap Sang Buddha dan bertanya di mana guru mereka dilahirkan kembali. Sang Buddha menjawab, “Para Bhikkhu! Gurumu telah mencapai Anagami Magga sebelum meninggal dunia, sekarang dia lahir kembali di alam brahma (Suddhavassa Brahmaloka). Dia tidak menyatakan pencapaian Anagami Magga-nya karena merasa malu bahwa dia hanya mencapai itu, dan dia berusaha keras mencapai tingkat kesucian Arahat. Gurumu sekarang telah bebas dari kemelekatan kesenangan duniawi (kamaloka) dan pasti akan meningkat pada keadaan yang lebih tinggi.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 218 berikut:

Barang siapa bermaksud ingin mencapai
‘Yang Tak Terkondisi’ (Nibbāna),
yang batinnya tidak lagi terikat oleh kesenangan indra,
orang seperti itu disebut “yang telah pergi melawan arus kehidupan.”

Para Bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

 

Dhammapada 219 dan 220
Kisah Nandiya

Nandiya adalah orang kaya berasal dari Baranasi. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha tentang manfaat membangun vihāra-vihāra untuk para Bhikkhu, Nandiya membangun Vihāra Mahāvihāra di Isipatana. Bangunan tersebut tinggi dan penuh perabotan. Segera setelah vihāra tersebut dipersembahkan kepada Sang Buddha, sebuah rumah besar muncul untuk Nandiya di alam Surga Tavatimsa. Suatu hari, ketika Mahāmoggallāna Thera mengunjungi alam Surga Tavatimsa, dia melihat sebuah rumah besar diperuntukkan bagi pendana Vihāra Mahāvihāra di Isipatana. Setelah kembali dari alam Surga Tavatimsa, Mahāmoggallāna Thera bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante! Untuk mereka yang melakukan perbuatan baik, apakah mereka akan mempunyai rumah besar dan kekayaan lain tersedia di alam surga, meskipun mereka masih hidup di dunia ini ?”

Sang Buddha berkata, “Anak-Ku, mengapa bertanya hal itu? Apakah Kamu tidak melihat rumah besar dan kekayaan menunggu untuk Nandiya di alam Surga Tavatimsa? Para dewa menunggu kedatangan dari orang yang berbuat baik dan dermawan, seperti sebuah keluarga menunggu kembalinya seseorang yang telah lama bepergian. Ketika orang baik meninggal dunia, mereka disambut dengan gembira untuk tinggal di alam surga.”


Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 219 dan 220 berikut:

Setelah lama seseorang pergi jauh
dan kemudian pulang ke rumah dengan selamat,
maka keluarga, kerabat, dan sahabat
akan menyambutnya dengan senang hati.

Begitu juga, perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan
akan menyambut pelakunya yang telah pergi dari dunia ini
ke dunia selanjutnya,
seperti keluarga yang menyambut pulangnya orang tercinta.


0 Responses

Posting Komentar

abcs