Dhammapada 290
Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha
Suatu ketika, musibah kelaparan melanda Kota Vesali, diawali dengan musim
kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan
banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini diikuti oleh penyebaran
wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani pembuangan
mayat-mayat, maka bau busuk di udara menarik perhatian para raksasa. Penduduk
Vesali menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit,
dan juga kehadiran para raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka
mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari
berbagai sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.
Serombongan utusan dipimpin oleh Mahāli, seorang pangeran suku Licchavi, dan
putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha
berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang sedang dalam
musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini akan membawa manfaat bagi
banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.
Mendengar Sang Buddha bersama para Bhikkhu akan mengadakan kunjungan ke negara
tetangga, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rājagaha sampai ke tepi Sungai
Gangga. Ia juga membuat persiapan-persiapan lain dan mendirikan tempat-tempat
beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu dalam setiap yojana.
Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju ke Vesali
bersama lima ratus Bhikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada
hari kelima mereka sampai di tepi Sungai Gangga dan Raja Bimbisara mengirim
kabar kepada pangeran-pangeran Licchavi.
Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki jalan
dari tepi sungai itu menuju ke Kota Vesali dan telah membangun tempat-tempat
beristirahat seperti yang dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai
wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi pangeran-pangeran
Licchavi, namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai wilayahnya.
Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun
dengan deras, sehingga membersihkan Kota Vesali. Sang Buddha dipersilakan
beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan untuk Beliau
di pusat kota.
Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat kepada Sang
Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para raksasa melarikan diri.
Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan Khotbah Permata (Ratana
Sutta) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang
berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.
Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair perlindungan
(paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti
Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha berada.
Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama tujuh hari.
Pada akhir hari ketujuh segala sesuatunya di Kota Vesali menjadi normal
kembali. Para Pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari
musibah dan sangat bersukacita. Mereka juga sangat berterima kasih kepada Sang
Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang besar dan mewah.
Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang sampai di tepi
Sungai Gangga.
Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara menunggu Sang Buddha, demikian pula
para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya masing-masing.
Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa
dan brahma datang menghormat dengan payung, bunga, dan lain-lain, serta
melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para naga datang dengan perahu yang
terbuat dari emas, perak, dan rubi, mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman
para naga. Mereka juga menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai.
Inilah satu di antara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, ketika para
manusia, dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan
kepada Beliau.
Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan keagungan
Beliau dengan keajaiban ganda: memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari
tubuh Beliau.
Kedua, ketika Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau
membabarkan Abhidhamma di sana.
Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian Beliau melakukan kunjungan ke
tempat kediaman para naga diiringi oleh para Bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan
pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah berkunjung ke
tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali ke Rājagaha diiringi raja
Bimbisara. Mereka tiba di Rājagaha pada hari kelima.
Dua hari setelah kedatangan mereka di Rājagaha, ketika para Bhikkhu sedang
membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan selama perjalanan
dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.
Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata, “Para
Bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma, dewa, dan
manusia, dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah yang
sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini bukanlah disebabkan oleh
kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah karena Saya telah melakukan
beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau,
sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian besarnya.” Kemudian Sang
Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau
menjadi seorang brahmana bernama Sankha.
Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di Kota Taxila. Ia
mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun,
ia dikirim oleh ayahnya kepada brahmana lain untuk belajar ilmu perbintangan.
Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari, tetapi Susima tidak
sepenuhnya puas. Karena itu, gurunya memerintahkan agar ia mendekati para
Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana,
tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang
Bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang
Bhikkhu. Susima berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami ‘Empat
Kesunyataan Mulia’, mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha.
Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia
meninggal, mencapai parinibbāna segera setelah itu.
Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia hanya
menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi
sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu,
membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia menutup tanah
tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia pergi ke dalam
hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di
tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan
memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena
perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu, maka Sang Buddha
mendapat manfaat, ia dilimpahi dengan persembahan mewah, dihormati demikian
tinggi, dan memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 290 berikut:
Apabila dengan melepaskan kebahagiaan
yang lebih kecil
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,
maka hendaknya orang bijaksana
melepaskan kebahagiaan yang kecil itu,
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.
Dhammapada 291
Kisah Wanita yang Memakan Habis Telur-Telur dari Seekor Ayam
Suatu ketika hiduplah seorang wanita di suatu desa dekat Sāvatthī. Ia mempunyai
seekor ayam betina dalam rumahnya. Setiap kali ayam itu bertelur, ia
memakannya. Ayam itu sangat terluka hatinya dan marah serta bertekad membalas
dendam kepada wanita tersebut, sehingga ayam itu membuat suatu keinginan agar
dilahirkan sebagai makhluk dengan posisi yang dapat membunuh keturunan wanita
itu. Keinginan ayam itu terpenuhi, karena ia terlahir kembali menjadi seekor
kucing, dan si wanita terlahir kembali sebagai seekor ayam betina di rumah yang
sama. Kucing itu memakan habis telur-telur si ayam. Dalam kehidupan mereka
berikutnya, ayam betina menjadi seekor harimau dan kucing menjadi seekor rusa.
Harimau memakan rusa beserta keturunannya. Dengan demikian, permusuhan
berlangsung terus selama lima ratus kali kehidupan kedua makhluk tersebut.
Pada masa kehidupan Sang Buddha, salah satu dari mereka terlahir kembali
sebagai seorang wanita dan yang satu lagi sebagai raksasa wanita.
Dalam suatu kesempatan, wanita tersebut sedang kembali dari rumah orang tuanya
menuju rumahnya sendiri dekat Sāvatthī. Suaminya dan anak laki-lakinya yang
masih balita juga bersamanya. Ketika mereka sedang beristirahat dekat suatu
kolam di tepi jalan, suaminya pergi untuk mandi di kolam tersebut. Pada saat
itu si wanita melihat raksasa wanita dan mengenalinya sebagai musuh lamanya.
Dengan membawa anaknya, ia melarikan diri menjauhi raksasa wanita itu, menuju
Vihāra Jetavana tempat Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Ia meletakkan
anaknya di kaki Sang Buddha.
Raksasa wanita yang mengejar wanita itu tiba di pintu vihāra, namun makhluk
halus penjaga pintu gerbang vihāra tidak mengizinkannya masuk. Ketika melihat
hal itu Sang Buddha menyuruh Y.A. Ananda untuk membawa masuk raksasa wanita ke
hadapan Beliau. Ketika raksasa itu datang, Sang Buddha menegur baik wanita
maupun raksasa wanita, perihal rantai permusuhan yang panjang di antara mereka.
Beliau mengatakan, “Jika kamu berdua tidak datang kepada-Ku hari ini,
permusuhanmu akan berlangsung tanpa akhir. Permusuhan tidak dapat diredakan
oleh permusuhan, permusuhan hanya dapat diredakan oleh cinta kasih.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 291 berikut:
Barang siapa menginginkan kebahagiaan
bagi dirinya sendiri
dengan menimbulkan penderitaan orang lain,
maka ia tidak akan terbebas dari kebencian;
ia akan terjerat dalam kebencian.
Pada saat khotbah Dhamma berakhir, raksasa wanita menyatakan berlindung dalam
Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, sedangkan wanita
itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti.
Dhammapada 292 dan 293
Kisah Bhikkhu-Bhikkhu Baddiya
Suatu saat Bhikkhu-Bhikkhu, yang berdiam di Baddiya sibuk membuat sandal-sandal
yang penuh hiasan berbagai macam alang-alang dan rumput. Ketika Sang Buddha
diberitahu tentang hal ini, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, kamu seharusnya
memasuki persamuhan Bhikkhu (Saṅgha) untuk mencapai ‘Hasil Kesucian
Arahat’ (Arahatta Phala). Namun, kamu sekarang sedang berusaha keras hanya
dalam membuat sandal dan menghiasinya.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 292 dan 293 berikut:
Orang melakukan yang seharusnya tak dilakukan
dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan,
maka kekotoran batin akan terus bertambah
dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu.
terhadap badan jasmani,
tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan,
dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan,
maka kekotoran-kekotoran batin
akan lenyap dari diri mereka
yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.
Bhikkhu-Bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat, setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
Dhammapada 294 dan 295
Kisah Bhaddiya Thera, si Orang Pendek
Suatu ketika beberapa Bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang
Buddha di Vihāra Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka
Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka.
Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan
berkata kepada mereka, “Para Bhikkhu, lihatlah kepada thera itu. Ia telah
membunuh ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orangtuanya, ia pergi tanpa
penderitaan lagi.”
Para Bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang
Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan
Beliau berkenan menjelaskan artinya.
Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan dengan kehidupan Arahat,
yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan
kemelekatan pada indra dan objek indra. Sang Buddha telah membuat pernyataan
metaforis. Istilah ‘ibu’ dan ‘ayah’ digunakan untuk menunjukkan nafsu keinginan
dan kesombongan. Kepercayaan/pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan
kepercayaan/pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua
raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indra serta objek indra seperti
halnya sebuah kerajaan.
Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan
syair 294 dan 295 berikut ini:
Setelah membantai ibu dari nafsu kesenangan
dan ayah dari kesombongan,
serta dua orang kesatria
(dua pandangan ekstrem berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
dan setelah menghancurkan negara
(pintu-pintu indra) bersama dengan para menterinya (kemelekatan),
maka seorang brahmana
akan berjalan pergi tanpa kesedihan.
dan ayah dari kesombongan,
serta dua raja yang arif
(dua pandangan ekstrem berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
dan setelah menghancurkan
lima jalan yang penuh bahaya
(lima rintangan batin),
maka seorang brahmana
akan berjalan pergi tanpa kesedihan.
Para Bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat kesucian Arahat, setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
Dhammapada 296, 297, 298, 299, 300, dan 301
Kisah Anak Laki-laki Penebang Kayu
Suatu ketika di Rājagaha, seorang penebang kayu pergi ke dalam hutan dengan
anak laki-lakinya untuk mencari kayu. Waktu kembali ke rumah pada sore hari,
mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan. Mereka juga melepaskan kuk
dari dua lembu jantannya sehingga lembu-lembu bisa merumput di sekitar tempat
itu. Tetapi kedua lembu jantan pergi tanpa mereka sadari. Segera setelah mereka
sadar bahwa dua ekor lembunya telah hilang, penebang kayu pergi mencarinya,
meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar. Sang ayah memasuki kota,
mencari lembunya. Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata ia sudah terlambat,
gerbang kota sudah ditutup. Karena itu anak laki-lakinya terpaksa tidur sendiri
di bawah kereta.
Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya muda, selalu penuh perhatian
dan mempunyai kebiasaan merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha.
Malam itu dua raksasa datang untuk menakut-nakuti dan ingin membuatnya celaka.
Ketika salah satu raksasa menarik kaki anak laki-laki itu, ia berteriak, ” Saya
menghormat kepada Sang Buddha!” (Namo Buddhassa).
Mendengar kata-kata dari anak itu, raksasa-raksasa menjadi ketakutan dan juga
merasa harus melindunginya. Sehingga salah satu dari kedua raksasa tetap berada
di dekat anak itu, menjaganya dari semua bahaya. Raksasa lainnya pergi ke
istana raja dan membawa nampan berisi makanan Raja Bimbisara. Kedua raksasa
memberi makan kepada anak itu bagaikan anaknya sendiri. Di istana raja, raksasa
meninggalkan pesan tertulis perihal nampan makanan istana, dan pesan ini hanya
terbaca oleh sang raja.
Pada pagi hari, pengawai raja menemukan bahwa nampan makanan istana telah
hilang, mereka sangat putus asa dan ketakutan. Raja menemukan pesan yang
ditinggalkan oleh raksasa dan menunjukkan kepada pegawainya di mana ia harus
mencarinya. Pegawai raja menemukan nampan makanan istana di antara kayu bakar
di dalam kereta. Mereka juga menemukan anak laki-laki yang masih tidur di bawah
kereta. Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa ayahnya datang kepadanya untuk
memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas, tanpa takut setelah memakan
makanannya. Anak itu hanya mengetahui sampai di situ, tidak lebih.
Raja menghadapkan kedua orangtuanya bersama dengan anak itu kepada Sang Buddha.
Raja waktu itu telah mendengar bahwa anak tersebut selalu penuh perhatian
merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dan juga ia telah meneriakkan ‘Namo
Buddhassa’, ketika raksasa menarik kakinya di malam hari.
Raja bertanya kepada Sang Buddha, “Apakah penuh perhatian terhadap sifat-sifat
mulia Sang Buddha adalah satu-satunya Dhamma yang dapat memberi perlindungan
kepada seseorang terhadap kemalangan dan mara bahaya, ataukah penuh perhatian
terhadap sifat-sifat mulia Dhamma sama manfaat dan kuatnya?”
Sang Buddha menanggapi, “O Raja, siswa-Ku! Terdapat enam hal, apabila penuh
perhatian terhadapnya akan merupakan perlindungan yang baik mengatasi
kemalangan dan mara bahaya.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 296, 297, 298, 299, 300, dan 301
berikut:
Para Siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
Sifat-Sifat Mulia Sang Buddha
dengan penuh kesadaran.
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
Sifat-Sifat Mulia Dhamma
dengan penuh kesadaran.
Para Siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
Sifat-Sifat Mulia Saṅgha
dengan penuh kesadaran.
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
sifat-sifat badan jasmani
dengan penuh kesadaran.
Para Siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka bergembira
dalam keadaan bebas dari kekejaman.
Para Siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka bergembira
dalam ketenteraman samadhi.
Pada saat khotbah Dhamma berakhir, anak itu beserta kedua orang tuanya mencapai
tingkat kesucian Sotāpatti. Kemudian mereka bergabung dalam persamuhan Bhikkhu
(Saṅgha) dan akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat.
Dhammapada 302
Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri Kaum Vajji
Pada malam bulan purnama di bulan Kattika, penduduk Vesali merayakan festival
perbintangan (nakkhatta) secara besar-besaran. Seluruh kota bersinar, dan ada
banyak hiburan, dengan nyanyian, tarian, dan lain-lain. Ketika itu ada seorang
Bhikkhu yang sedang melihat ke arah kota, sambil berdiri sendiri di vihāra.
Bhikkhu itu merasa kesepian dan tidak puas dengan keadaannya. perlahan, ia
bergumam pada dirinya sendiri, “Tidak ada seorang pun yang keadaannya lebih
buruk dariku.” Saat itu juga makhluk halus penjaga hutan menghampirinya dan
berkata, “Makhluk-makhluk di alam neraka (niraya) iri hati terhadap keadaan
makhluk-makhluk di alam dewa; demikian pula orang-orang iri hati dengan keadaan
mereka yang hidup sendiri di dalam hutan.” Mendengar kata-kata ini, Bhikkhu
tersebut menyadari kebenaran kata-kata itu dan ia menyesal telah berpikir
sedemikian sempit terhadap keadaan seorang Bhikkhu.
Pagi-pagi buta pada keesokan harinya, Bhikkhu tersebut pergi menghadap Sang
Buddha dan melaporkan kejadiannya. Sang Buddha menceritakan tentang betapa
sulitnya kehidupan semua makhluk.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 302 berikut:
Sungguh sukar untuk menempuh
kehidupan tanpa rumah (Pabbajja);
sungguh sukar untuk bergembira
dalam menempuh kehidupan tanpa rumah.
Kehidupan rumah tangga
adalah sukar dan menyakitkan.
Tinggal bersama mereka yang tidak sesuai
sungguh menyakitkan.
Hidup mengembara dalam proses tumimbal lahir (Samsara)
juga menyakitkan.
Karena itu janganlah menjadi pengembara (dalam Samsara),
atau menjadi pengejar penderitaan.
Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat, setelah khotbah Dhamma berakhir.
Dhammapada 303
Kisah Citta, si Perumah Tangga
Citta, setelah mendengarkan Dhamma yang diuraikan oleh Yang Ariya Sāriputta,
mencapai tingkat kesucian Anagami. Suatu hari, Citta mengisi penuh lima ratus
keretanya dengan makanan dan persembahan lainnya untuk diberikan kepada Sang
Buddha serta murid-murid Beliau. Ia berangkat menuju Sāvatthī bersama rombongan
pengikutnya yang berjumlah tiga ribu orang. Mereka berjalan menempuh jarak satu
yojana setiap hari, dan tiba di Sāvatthī pada akhir bulan. Kemudian Citta pergi
bersama lima ratus pengiringnya menuju Vihāra Jetavana. Ketika ia sedang
memberi penghormatan kepada Sang Buddha, bunga-bunga berjatuhan dengan
menakjubkan dari atas seperti hujan. Citta tinggal di vihāra itu selama sebulan
penuh, mempersembahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu, serta
memberi makanan kepada rombongan yang berjumlah tiga ribu orang. Setiap kali,
dewa-dewa mengisi kembali persediaan makanan dan persembahan lainnya.
Pada malam hari sebelum perjalanan pulang, Citta meletakkan semua yang telah
dibawanya di ruangan-ruangan vihāra sebagai persembahan kepada Sang Buddha.
Kemudian dewa-dewa mengisi kembali kereta-kereta yang kosong itu dengan
berbagai macam barang tak ternilai harganya. Y.A Ananda, melihat bagaimana
kekayaan Citta diisi kembali, bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante apakah hanya
bila Citta datang kepada Bhante saja ia akan diberkahi dengan semua kekayaan
ini? Apakah ia diberkahi dengan hal yang sama bila ia pergi ke lain tempat?”
Sang Buddha menjawab, “Ananda, siswa ini diberkahi dengan keyakinan dan
kemurahan hati, ia juga bersusila, dan nama baiknya menyebar jauh dan luas.
Orang seperti ini pasti akan dihormati dan dihujani dengan kekayaan ke mana pun
ia pergi.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 303 berikut:
Bagi orang yang memiliki keyakinan
dan sīla yang sempurna,
akan memperoleh
nama harum dan kekayaan,
pergi ke tempat mana pun
ia akan dihormati.
Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat, setelah khotbah Dhamma berakhir.
Dhammapada 304
Kisah Culasubhadda
Anathapindika dan Ugga, orang kaya dari Ugga, belajar di bawah bimbingan guru
yang sama ketika mereka berdua masih muda. Ugga mempunyai seorang anak
laki-laki dan Anathapindika mempunyai seorang anak perempuan. Ketika anak-anak
mereka telah cukup dewasa, Ugga meminta persetujuan Anathapindika untuk
menikahkan kedua anak mereka. Dengan demikian pernikahan diadakan, dan
Culasubhadda, anak perempuan Anathapindika, harus tinggal di rumah mertuanya.
Ugga dan keluarganya adalah pengikut petapa bukan murid Sang Buddha. Suatu saat
mereka mengundang petapa tersebut ke rumahnya. Pada kesempatan itu, Ugga
meminta Culasubhadda, untuk memberi penghormatan kepada para petapa telanjang
bukan murid Sang Buddha tersebut, tetapi ia selalu menolak untuk memenuhinya.
Sebaliknya, ia bercerita kepada ibu mertuanya tentang Sang Buddha dan
sifat-sifat mulia Beliau.
Ibu mertua Culasubhadda, sangat ingin bertemu dengan Sang Buddha, setelah ia
diberitahu tentang Sang Buddha oleh menantu perempuannya. Ia bahkan menyetujui
permintaan Culasubhadda mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan di
rumahnya.
Culasubhadda menyiapkan makanan dan mengumpulkan persembahan lainnya untuk Sang
Buddha beserta murid-murid Beliau. Kemudian ia naik ke tempat yang paling
tinggi di rumahnya dan melihat ke arah Vihāra Jetavana. Ia membuat persembahan
bunga serta dupa dan merenungkan sifat-sifat dan kebajikan mulia Sang Buddha.
Ia kemudian mengucapkan keinginannya, “Bhante! Semoga hal ini membuat Bhante
berkenan datang, bersama dengan murid-murid Bhante, ke rumah kami esok hari.
Saya, umat awam yang berbakti, dengan penuh hormat mengundang Bhante. Semoga
permohonanku diketahui oleh Bhante melalui lambang dan sikap seperti ini.”
Kemudian ia mengambil delapan genggam bunga melati dan menebarkannya ke langit.
Bunga-bunga itu mengambang di udara menuju Vihāra Jetavana dan terletak menggantung
pada langit-langit ruang pertemuan tempat Sang Buddha sedang membabarkan
Dhamma. Pada akhir khotbah Beliau, Anathapindika, ayah Culasubhadda, mendekati
Sang Buddha untuk mengundang menerima dana makanan di rumahnya pada esok hari.
Sang Buddha menjawab bahwa ia telah menerima undangan Culasubhadda untuk esok
hari. Anathapindika bingung dengan jawaban Sang Buddha dan berkata, “Tetapi,
Bhante! Culasubhadda tidak tinggal di Sāvatthī sini, ia tinggal di Ugga yang
berjarak 120 yojana dari sini.” Kepadanya Sang Buddha berkata, “Benar, perumah
tangga, tetapi kebaikannya jelas terlihat nyata seakan-akan hadir meskipun hal
itu mungkin berada pada jarak jauh.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 304 berikut:
Meskipun dari jauh,
orang baik akan terlihat bersinar
bagaikan puncak pegunungan Himalaya.
Tetapi, meskipun dekat,
orang jahat tidak akan terlihat,
bagaikan anak panah
yang dilepaskan pada malam hari.
Hari berikutnya, Sang Buddha datang ke rumah Ugga, ayah mertua Culasubhadda.
Sang Buddha diiringi dengan lima ratus Bhikkhu dalam perjalanan ini, mereka
semua datang melalui udara dalam perahu penuh dekorasi yang diciptakan atas
perintah Sakka, raja para dewa. Melihat Sang Buddha dalam kemegahan dan
keagungannya, ayah mertua Culasubhadda sangat terkesan dan mereka memberi
penghormatan kepada Sang Buddha. Untuk tujuh hari berikutnya, Ugga dan
keluarganya memberi dana makanan dan membuat persembahan kepada Sang Buddha
beserta murid-murid Beliau.
Dhammapada 305
Kisah Thera yang Berdiam Seorang Diri
Ekavihari Thera tidak banyak bergaul dengan Bhikkhu-Bhikkhu lain. Ia biasa
menyendiri. Ia akan tidur, berbaring, berdiri, atau berjalan seorang diri.
Bhikkhu-Bhikkhu lain berprasangka buruk terhadap Ekavihari dan berkata kepada
Sang Buddha tentang dirinya. Tetapi Sang Buddha tidak menyalahkannya.
Sebaliknya Beliau berkata, “Ya, sesungguhnya anak-Ku telah berkelakuan baik,
karena seorang Bhikkhu seharusnya berdiam dalam kesunyian dan kesendirian.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 305 berikut:
Ia yang duduk sendiri,
tidur sendiri,
berjalan sendiri tanpa rasa jemu
serta selalu membina diri,
akan bergembira di dalam hutan.
Posting Komentar