Yang warna merah adalah koleksi yang sudah dilakukan saat pemeriksaan ilustrasi Dhammapada.
Dhammapada 235, 236, 237, dan 238
Kisah Putra Seorang Penjagal
Suatu ketika di Sāvatthī, ada seorang pria yang menjadi penjagal ternak selama
dua puluh lima tahun. Selama itu ia menyembelih ternak dan menjual dagingnya,
dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging. Suatu hari ia memberikan
sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk keluarga mereka, kemudian ia
pergi mandi ke tepi sungai.
Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk istrinya untuk menjual sekerat
daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari daging untuk si penjagal pada
hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari daging, maka si penjagal
bergegas pergi ke belakang rumah, tempat terdapat seekor sapi jantan. Ia
memotong lidah sapi jantan tersebut dan memanggangnya di atas api. Ketika makan
si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut, bersamaan dengan itu lidahnya
sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas piring nasi. Sapi jantan dan si
penjagal mengalami penderitaan yang sama, sama-sama terpotong lidahnya.
Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang teramat sangat, ia
merangkak ke sana kemari, dengan banyak darah bercucuran dari mulutnya.
Kemudian penjagal tersebut meninggal dan terlahir kembali di alam Neraka Avici
(Niraya Avici).
Istri si penjagal merasa sangat gelisah dan ia menginginkan putranya pindah ke
tempat tinggal yang lain, agar kemalangan tidak menimpa dirinya pula. Maka ia
mengirimkan putranya ke Taxila. Di Taxila, putra si penjagal mempelajari seni
dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi putri gurunya dan mempunyai
beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka sudah dewasa, ia kembali ke
Sāvatthī. Anak-anaknya menganut ajaran Sang Buddha dan telah meningkat
keyakinannya. Mereka mengkhawatirkan ayah mereka, yang telah menjadi tua tanpa
pernah memikirkan Dhamma ataupun kehidupannya yang akan datang.
Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu ke rumah
mereka untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, mereka berkata kepada
Sang Buddha, “Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari ini atas nama
ayah kami. Berikanlah khotbah secara khusus padanya.”
Sang Buddha berkata, “Murid-Ku! Engkau telah menjadi tua, tapi engkau belum
membuat persiapan kebajikan untuk perjalananmu pada kelahiran berikutnya,
sekarang engkau sebaiknya mencari penolong bagi dirimu sendiri.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 235, 236, 237, dan 238 berikut ini:
Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu.
Para utusan raja kematian (Yama) telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan,
namun tidak kaumiliki bekal untuk perjalanan nanti.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda
dan bebas dari nafsu keinginan,
maka engkau akan mencapai kedamaian para Ariya.
Sekarang kehidupanmu telah mendekati akhir,
dan engkau telah mulai berjalan ke hadapan raja kematian (Yama).
Tidak ada tempat bagimu berhenti di perjalanan,
sedangkan engkau belum memiliki bekal untuk perjalananmu.
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda
dan bebas dari nafsu keinginan,
maka kelahiran dan kematian
tidak akan datang lagi padamu.
Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal) mencapai tingkat kesucian
Anagami setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.
Dhammapada 239
Kisah Seorang Brahmana
Suatu saat, seorang brahmana menyaksikan sekelompok Bhikkhu sedang membenahi
jubah, ketika mereka mempersiapkan diri memasuki kota untuk menerima dana
makanan. Ia juga melihat jubah beberapa Bhikkhu menyentuh tanah dan menjadi
basah oleh embun yang terdapat di rerumputan. Maka ia membersihkan bidang tanah
itu.
Hari berikutnya, ia melihat jubah para Bhikkhu menyentuh tanah lumpur, jubah
tersebut menjadi kotor. Ia menutupi tanah tersebut dengan pasir. Kemudian, ia
memperhatikan bahwa para Bhikkhu akan berkeringat saat matahari bersinar dan
menjadi basah saat hujan turun. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah
peristirahatan untuk para Bhikkhu di tempat mereka biasa berkumpul sebelum
memasuki kota untuk menerima dana makanan.
Ketika bangunan telah selesai, ia mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk
menerima dana makanan. Brahmana menjelaskan kepada Sang Buddha bagaimana ia
telah melaksanakan perbuatan baik tersebut selangkah demi selangkah.
Kepadanya Sang Buddha berkata, “O Brahmana! Para bijaksana melaksanakan perbuatan
baik mereka sedikit demi sedikit, dan secara bertahap serta terus-menerus
mereka menanggalkan noda-noda kekotoran batin,”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 239 berikut:
Dengan latihan bertahap,
sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu,
hendaklah orang bijaksana
membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya,
bagaikan seorang pandai perak
membersihkan perak yang berkarat.
Brahmana itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah Dhamma
tersebut berakhir.
Dhammapada 240
Kisah Tissa Thera
Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Sāvatthī. Pada suatu hari, ia
menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud
mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal
dunia.
Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali
sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah. Karena tidak ada orang
yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa seperangkat jubah tersebut akan
dibagi bersama oleh Bhikkhu-Bhikkhu yang lain.
Ketika para Bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si
kutu sangat marah dan berteriak, “Mereka sedang merusak jubahku!” Teriakan ini
didengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka
Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan para Bhikkhu, dan memberi petunjuk
kepada mereka untuk menyelesaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada
hari kedelapan, seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para
Bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha ditanya oleh para Bhikkhu, mengapa Beliau menyuruh mereka
menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian jubah Tissa Thera.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada
seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir
kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Ketika
engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu, Tissa, si kutu akan merasa sangat
membencimu dan ia akan terlahir di alam neraka (niraya). Tetapi sekarang Tissa
telah bertumimbal lahir di alam dewa Tusita, dan sebab itu, Aku memperbolehkan
engkau mengambil jubah tersebut.
“Sebenarnya, para Bhikkhu, kemelekatan sangatlah berbahaya, seperti karat
merusak besi tempat ia terbentuk, begitu pula kemelekatan menghancurkan
seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang Bhikkhu sebaiknya
tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan
pokok.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 240 berikut:
Bagaikan karat yang timbul dari besi,
bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri,
begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk
akan menjerumuskan pelakunya
ke alam kehidupan yang menyedihkan.
Dhammapada 241
Kisah Laludayi
Di Sāvatthī, banyak orang memberikan pujian setelah mendengar khotbah-khotbah
dari dua Murid Utama, Sāriputta Thera dan Mahāmoggallāna Thera.
Suatu ketika, Laludayi, setelah mendengar pujian mereka, ia berkata kepada
orang-orang bahwa mereka akan mengatakan hal yang sama setelah mendengar
khotbah-khotbahnya. Mendengar hal itu, Laludayi diminta untuk menyampaikan
suatu khotbah. Ia naik ke panggung tetapi ia tak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Maka ia meminta para pendengar untuk mempersilakan Bhikkhu yang lain
terlebih dahulu dan ia akan mengambil giliran berikutnya. Dengan cara yang
sama, ia menunda sampai tiga kali.
Para pendengar kehilangan kesabaran dan berteriak, “Engkau orang bodoh! Ketika
kami memuji kedua Murid Utama engkau membual bahwa engkau bisa berkhotbah
seperti mereka. Mengapa engkau tidak berkhotbah sekarang?”
Laludayi melarikan diri dan kerumunan orang tersebut mengejarnya. Karena sangat
takut dan tidak memperhatikan ke mana ia melangkah, Laludayi terjatuh ke dalam
sebuah lubang kotoran.
Ketika Sang Buddha mendengar kejadian tersebut, Beliau berkata, “Laludayi
sangat sedikit mempelajari Dhamma; dia tidak mengulang-ulang pengetahuan Dhamma
secara teratur; dia tidak mengingat apa pun. Apa pun yang telah sedikit ia
pelajari menjadi berkarat karena tidak diulang.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 241 berikut:
Tidak membaca ulang adalah noda bagi mantra,
tidak berusaha adalah noda bagi kehidupan berumah tangga.
Kemalasan adalah noda bagi kecantikan,
dan kelengahan adalah noda bagi seorang penjaga.
Dhammapada 242 dan 243
Kisah Seorang Pria yang Istrinya Melakukan Penyelewengan
Suatu ketika, ada seorang istri yang menyeleweng. Suaminya begitu malu atas
kelakuan istrinya sehingga ia tidak berani menemui orang lain; ia juga
menghindari Sang Buddha. Setelah beberapa waktu, ia pergi menjumpai Sang Buddha
dan Beliau bertanya mengapa ia tidak kelihatan selama ini dan ia pun
menjelaskan semuanya.
Setelah mendengarkan alasan ketidakhadiran laki-laki itu, Sang Buddha berkata,
“Murid-Ku, wanita itu seperti sebuah sungai, atau jalan, atau toko minuman,
atau rumah peristirahatan, atau pot air, yang berdiri di pinggir jalan, mereka
berhubungan (bergaul) dengan semua jenis orang. Tentunya hubungan intim yang
salah merupakan penyebab kehancuran seorang wanita.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 242 dan 243 berikut ini:
Kelakuan buruk adalah noda bagi seorang wanita,
kekikiran adalah noda bagi seorang dermawan.
Sesungguhnya, segala bentuk kejahatan merupakan noda,
baik dalam dunia ini maupun dalam dunia selanjutnya.
Kebodohan merupakan noda paling buruk.
O, para Bhikkhu, singkirkanlah noda ini
dan hiduplah tanpa noda.
Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah
Dhamma berakhir.
Dhammapada 244 dan 245
Kisah Culasari
Suatu hari, Culasari berjalan pulang dari mengunjungi seorang pasien. Dalam
perjalanan, ia berjumpa Sāriputta Thera dan bercerita, bagaimana ia merawat
seorang pasien serta mendapatkan makanan enak untuk pelayanannya. Ia juga meminta
Sāriputta Thera untuk menerima sebagian dari makanan tersebut. Sāriputta Thera
tidak mengatakan apa pun kepadanya melainkan terus melanjutkan perjalanan.
Sāriputta Thera menolak menerima makanan dari Bhikkhu itu karena ia telah
melanggar peraturan yang melarang para Bhikkhu membuka praktik pengobatan.
Bhikkhu-Bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata
kepada mereka, “Para Bhikkhu! Seorang Bhikkhu yang tidak tahu malu itu buruk
dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia sombong seperti seekor gagak, ia
menghidupi diri dengan cara yang melanggar peraturan dan hidup dalam
kenikmatan. Di sisi lain, kehidupan bagi seorang Bhikkhu yang memiliki malu
tidaklah mudah.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 244 dan 245 berikut ini:
Hidup ini mudah bagi orang yang tidak tahu malu,
yang suka menonjolkan diri seperti seekor burung gagak,
suka menfitnah, tidak tahu sopan santun, pongah,
dan menjalankan hidup kotor.
yang senantiasa mengejar kesucian,
yang bebas dari kemelekatan, rendah hati,
menjalankan hidup bersih dan penuh perhatian.
Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotāpatti setelah khotbah
Dhamma berakhir.
Dhammapada 246, 247, dan 248
Kisah Lima Murid Awam
Suatu ketika, lima murid awam melaksanakan hari puasa (Uposatha) di Vihāra
Jetavana. Sebagian besar dari mereka hanya menjalankan satu atau dua peraturan
moral (sīla) saja dari ‘Lima Peraturan Moral’ (Pancasīla). Masing-masing dari
mereka yang menjalankan salah satu sīla tertentu tersebut menyatakan bahwa sīla
yang dijalankannya merupakan sīla yang paling sulit dan kemudian terjadi
perdebatan. Akhirnya, mereka menghadap Sang Buddha dengan membawa masalah ini.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Engkau tidak boleh menganggap suatu sīla
itu mudah atau tidak penting. Setiap sīla harus dijalankan dengan tetap. Jangan
menganggap ringan sīla yang mana pun, tidak ada sīla yang mudah dijalankan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 246, 247 dan 248 berikut ini:
Barang siapa membunuh makhluk hidup,
suka berbicara tidak benar,
mengambil apa yang tidak diberikan,
merusak kesetiaan istri orang lain,
maka di dunia ini orang seperti itu
bagaikan menggali kubur
bagi dirinya sendiri.
Orang baik, ketahuilah bahwa sesungguhnya
tidak mudah mengendalikan hal-hal yang jahat.
Jangan biarkan keserakahan dan kejahatan
menyeretmu ke dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
Lima murid awam mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
Dhammapada 249 dan 250
Kisah Tissa
Tissa, seorang Bhikkhu muda, mempunyai kebiasaan yang sangat buruk yaitu
melecehkan kemurahan hati dan perbuatan baik orang lain. Ia bahkan mencela dana
yang diberikan oleh Anathapindika dan Visakha. Di samping itu, ia membual bahwa
teman-temannya sangatlah kaya bagaikan sumur, tempat setiap orang bisa
mendapatkan air.
Mendengar ia membual demikian, para Bhikkhu yang lain tidak percaya, maka
mereka memutuskan untuk menemukan kebenarannya. Beberapa Bhikkhu muda pergi ke
desa asal Tissa dan mencari keterangan tentang hal ini. Mereka menemukan
kenyataan bahwa semua teman-teman Tissa miskin, dan selama ini Tissa hanya
membual saja.
Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, seorang
Bhikkhu yang tidak senang orang lain menerima pemberian dan persembahan, ia
tidak akan pernah mencapai ‘Jalan dan Hasil Kesucian’ (magga dan phala).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 249 dan 250 berikut ini:
Orang-orang memberi sesuai dengan keyakinan
dan menurut kesenangan hati mereka.
Karena itu barang siapa yang merasa iri
atas makanan dan minuman orang lain,
ia tidak akan memperoleh kedamaian batin,
baik siang maupun malam.
mencabut akar-akarnya serta menghancurkannya,
akan memperoleh kedamaian batin,
baik siang maupun malam.
Dhammapada 251
Kisah Lima Murid Awam
Pada suatu ketika, lima murid awam hadir pada saat Sang Buddha sedang
berkhotbah Dhamma di Vihāra Jetavana. Seorang dari mereka duduk tertidur, orang
kedua menggambar garis-garis di tanah dengan jarinya, orang ketiga mencoba
mengguncang sebatang pohon, dan orang keempat memandangi langit. Orang kelima
merupakan satu-satunya murid yang mendengarkan Sang Buddha dengan hormat dan
penuh perhatian.
Ananda Thera, yang berada di dekat Sang Buddha, sambil mengipasi, Ananda
melihat tingkah laku lima murid awam yang berbeda tersebut. Ia berkata kepada
Sang Buddha, “Bhante! Sementara Bhante menguraikan Dhamma seperti tetesan air hujan
jatuh dari langit, hanya satu dari lima orang itu yang mendengarkan dengan
penuh perhatian.” Kemudian Ananda Thera menyampaikan tingkah laku yang berbeda
dari empat orang itu terhadap Sang Buddha dan bertanya mengapa mereka
bertingkah laku demikian.
Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda Thera, “Ananda, orang-orang ini tidak
dapat menyingkirkan kebiasaan lama mereka. Dalam kehidupan mereka yang lampau,
orang pertama adalah seekor ular. Seekor ular biasa melingkarkan dirinya dan
tertidur, demikian pula, orang ini tertidur ketika mendengarkan Dhamma.
Orang yang mengais tanah dengan jari tangannya adalah seekor cacing tanah, yang mengguncang pohon adalah seekor kera, yang menatap langit adalah seorang ahli ilmu bintang, dan orang yang mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian adalah seorang peramal terpelajar.”
“Dalam kaitan ini, Ananda harus ingat bahwa
seseorang haruslah penuh perhatian untuk dapat memahami Dhamma dan banyak
sekali orang yang tidak dapat menjalankan hal ini.”
Kemudian Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha, “Bhante! Hal-hal apa yang
menghalangi orang untuk dapat mengerti Dhamma?”
Sang Buddha menjawab, “Ananda, nafsu (raga),
kebencian (dosa), dan ketidaktahuan (moha) adalah tiga hal yang menghalangi
orang mengerti Dhamma. Nafsu membakar seseorang, tidak ada api sepanas nafsu.
Dunia mungkin saja terbakar ketika tujuh matahari muncul di angkasa, tetapi itu
jarang sekali terjadi. Namun nafsu selalu membakar tanpa henti.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 251 berikut:
Tiada api yang menyamai nafsu,
tiada cengkeraman yang dapat menyamai kebencian,
tiada jaring yang dapat menyamai ketidaktahuan,
dan tiada arus yang sederas nafsu keinginan.
Murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian mencapai tingkat kesucian
Sotāpatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Dhammapada 252
Kisah Mendaka si Orang Kaya
Suatu ketika, dalam perjalanan Beliau ke wilayah Anga dan Uttara, Sang Buddha
mengetahui dari penglihatan luar biasa-Nya bahwa telah tiba saatnya bagi
Mendaka, istrinya, putranya, menantunya, cucu perempuannya, dan pelayannya
untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpatti, maka Sang Buddha pergi ke Kota
Baddiya.
Mendaka adalah seorang pria yang teramat kaya raya. Menurut kabar, ia telah
menemukan sejumlah besar patung kambing dari emas dalam ukuran yang sebenarnya
di halaman belakang rumahnya. Karena alasan tersebut, ia dikenal sebagai
Mendaka (kambing) si orang kaya.
Menurut kabar pula, pada masa Buddha Vipassi, ia telah berdana sebuah vihāra
untuk Buddha Vipassi dan sebuah gedung pertemuan lengkap dengan podium untuk
berkhotbah. Selama pembangunan gedung tersebut, ia memberikan persembahan dana
makanan kepada Buddha Vipassi dan para Bhikkhu selama empat bulan.
Pada masa lain dalam kehidupannya yang lampau, ketika ia menjadi seorang kaya di
Baranasi, terjadi bencana kelaparan di seluruh daerah tersebut. Suatu hari,
mereka memasak makanan yang hanya cukup untuk anggota keluarga saja.
Saat itu, lewatlah seorang Paccekabuddha yang sedang ber-pindapatta. Ia
mempersembahkan seluruh makanan tersebut. Karena kesetiaan dan kemurahan
hatinya yang luhur, tempat nasinya kemudian ditemukan terisi lagi secara ajaib,
demikian pula lumbungnya.
Mendaka dan keluarganya mendengar bahwa Sang Buddha datang ke Baddiya, mereka
pergi untuk memberi hormat kepada Beliau. Setelah mendengarkan khotbah yang
diberikan Sang Buddha, istrinya Candapaduma, anaknya Danancaya, menantunya
Sumanadevi, cucu perempuannya Visakha, dan pelayannya Punna mencapai tingkat
kesucian Sotāpatti.
Kemudian Mendaka menceritakan kepada Sang Buddha bahwa dalam perjalanannya tadi
beberapa petapa telah mengatakan hal-hal yang buruk tentang Sang Buddha dan
mencegahnya untuk datang mengunjungi Beliau.
Sang Buddha kemudian berkata, “Murid-Ku, sudah biasa bahwa orang tidak melihat
kesalahannya sendiri, dan membesar-besarkan kesalahan dan keburukan orang
lain.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 252 berikut:
Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain,
tetapi sangat sulit untuk melihat
kesalahan-kesalahan sendiri.
Seseorang dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain
seperti menampi dedak,
tetapi ia menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri
seperti penjudi licik
menyembunyikan dadu yang berangka buruk.
Dhammapada 253
Kisah Ujjhanasanni Thera
Ujjhanasanni Thera selalu mencari kesalahan dan membicarakan hal-hal buruk
tentang orang lain. Bhikkhu-Bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha.
Sang Buddha menjawab, “Para Bhikkhu, jika seseorang menemukan kesalahan orang
lain kemudian memberitahukan hal-hal yang benar, maka itu bukanlah perbuatan
jahat, dan tidak dapat disalahkan. Tetapi, jika seseorang selalu mencari
kesalahan orang lain dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain hanya
karena dengki dan iri hati, ia tidak akan mencapai konsentrasi dan pencerapan
mental (jhana). Ia tidak akan bisa memahami Dhamma dan kekotoran batinnya
(asava) akan bertambah.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 253 berikut:
dan mencari-cari kesalahan orang lain,
maka kekotoran batin dalam dirinya
akan bertambah
dan ia semakin jauh dari penghancuran
kekotoran-kekotoran batin.
Dhammapada
254 dan 255
Kisah Subhadda si Petapa Pengembara
Subhadda si petapa pengembara sedang menetap di Kusinara ketika ia mendengar
bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbāna pada waktu jaga terakhir
malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya.
Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama yang lain,
misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana,
Sancaya Belatthaputta, dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak
memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa
hanya Sang Buddha-lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A. Ananda tidak
mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu kondisi kesehatan
Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau
berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu :
(1) Apakah ada jalan di langit?, (2) Apakah ada Bhikkhu-Bhikkhu suci (samana)
di luar ajaran Sang Buddha?, dan (3) Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara)
yang abadi? Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan tersebut adalah
‘tidak ada’.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini:
Tidak ada jejak di angkasa,
tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Umat manusia bergembira di dalam belenggu,
tetapi Para Tathagata telah bebas dari semua itu.
tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi.
Tidak ada lagi keragu-raguan bagi Para Buddha.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian
Anagami, dan atas permohonannya, Sang Buddha menerima Subhadda sebagai anggota
persamuhan Bhikkhu (Saṅgha).
Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi Bhikkhu pada masa kehidupan Sang
Buddha Gotama. Akhirnya, Subhadda mencapai tingkat kesucian Arahat.
Posting Komentar